Pemerintah berencana akan menambah jam belajar di sekolah untuk semua siswa di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh beralasan, nilai sosial yang berubah sehingga menuntut adanya perubahan di dunia pendidikan.
"Alasannya jelas karena ada perubahan sosial. Daripada lebih banyak di luar sekolah dan tercemar hal negatif, lebih baik kita perpanjang waktu di sekolahnya," kata Nuh seusai membuka Indonesian Science Festival (ISF), di Senayan, Jakarta, Rabu (19/9/2012).
Diakui Nuh, berdasarkan hasil kaji ulang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), efektivitas pembelajaran di sekolah masih sangat kurang. "Sekarang ini, berapa lama anak anak-anak ada di sekolah, enam sampai delapan jam. Tapi untuk apa kalau efektivitasnya belum memuaskan, maka kita tambah waktu di sekolahnya," pungkas Nuh.
Untuk diketahui, rencana pemerintah untuk menambah waktu anak-anak di sekolah menuai berbagai tanggapan. Saat ini, rencana itu masih terus dimatangkan oleh Kemdikbud selaras dengan pematangan kurikulum nasional yang baru dan akan mulai berlaku di tahun ajaran 2013-2014.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listiyarti tidak sependapat dengan usulan penambahan jam sekolah tersebut. Ia menilai pemerintah keliru besar saat berencana menambah jam di sekolah.
"Wah jangan, menambah jam sekolah akan memberatkan siswa, stres," kata Retno kepada Kompas.com, Selasa (18/9) malam.
Ia mencontohkan, siswa kelas 1 SMA misalnya, saat ini dibebani sekitar 17 mata pelajaran. Rata-rata, mereka berada di sekolah selama enam sampai tujuh jam, lima hari dalam seminggu. Atau siswa di Sekolah Dasar (SD). Meski lebih luang, tapi dinilai Retno juga cukup berlebih.
Hal itu terjadi karena ada beberapa materi pelajaran yang diberikan sebelum waktunya. "Harusnya dikurangi, bukan ditambah. Misalnya anak SD, mereka belum begitu perlu belajar teknologi informasi," ungkapnya.
Pernyataan Retno bukan tanpa alasan. Ia beranggapan setiap siswa harus diberi lebih banyak waktu untuk mengembangkan kompetensi sosial. Misalnya berorganisasi, mendorong mereka berlatih berbicara untuk menumbuhkan jiwa kepemimpinan.
"Kalau lama di sekolah, kapan waktu mereka bersosial, berorganisasi? Menambah waktu di sekolah akan membuat anak menjadi tidak kritis," pungkas Retno.
Sependapat dengan Retno, Psikiater Prof Dr dr LK Suryani SpKj berpandangan, dewasa ini terjadi kecenderungan semakin muda usia penderita sakit kejiwaan karena anak-anak tidak siap menerima beban pelajaran di sekolah. Kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitiannya dan kunjungan ke tempat praktiknya, sudah ada anak SD yang mengalami gangguan jiwa.
Menurut Suryani, penyebab terbesarnya karena beban pelajaran sekolah, anak-anak dituntut cepat bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung). Apalagi ditambah mereka harus belajar di sekolah hingga sore hari.
Suryani berharap para guru memahami perkembangan mental anak. Anak jangan dipaksakan belajar, tetapi hendaknya membuat siswa SD dari kelas I sampai III terangsang mempunyai semangat belajar, mau belajar dan berani berbicara.
"Di dalam mendidik, seyogianya guru jangan menganggap anak sudah tahu macam-macam sehingga tidak perlu dididik calistung. Harusnya anak-anak juga diajak menyanyi dan bercerita untuk mengekspresikan emosi," papar Suryani. (kom/brs/ts)
0 comments:
Post a Comment