Thursday, February 23, 2012

MENCARI SOEKARNO , SUHARTO , GUS DUR JILID 2

Pemilihan presiden masih dua tahun lagi, tetapi pembicaraan mengenai presiden periode 2014-2019 penting untuk dilakukan sejak kini. Apalagi mengingat peliknya berbagai persoalan yang tengah mendera Indonesia mulai dari permasalahan sosial-politik, ekonomi bahkan hukum. Pembicaraan hendaknya tidak hanya difokuskan pada persoalan siapa yang akan menjadi presiden masa depan, tetapi urgensi pembicaraan lebih difokuskan pada bagaimanakah sosok kandidat tersebut. Hal ini menjadi penting agar masyarakat tidak terjebak pada pilihan yang itu-itu saja dan terjadi salah pilih. Mengingat hal tersebut, dirasa perlu untuk menempatkan beberapa kriteria bagi pemegang kursi nomor satu di Indonesia, khususnya untuk periode tahun 2014-2019.
Tanpa mengesampingkan permasalahan yang lain, persoalan ekonomi tampaknya menjadi PR (pekerjaan rumah) yang belum terselesaikan hingga kini. Sebagaimana diuraikan Anthony Reid, sejarawan ahli Asia Tenggara, kemiskinan yang melanda Indonesia sangat tragis. Gross National Product (GNP) per kapita Indonesia, hanya sejajar dengan Birma dan Indocina. Baik Indonesia, Birma maupun Indocina hanya mempunyai setengah dari GNP Cina, seperlima dari GNP Turki, dan sepertigapuluh dari Australia dan Selandia Baru (Anthony Reid. 2004: 288-290). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika The United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan Indonesia pada peringkat ke 108 untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (maritime institute.org). Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam. Namun, rakyat tidak dapat bergerak sendirian untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin ideal yang mampu merangkul dan bersama memperjuangkan hidup mereka.
Berbicara tentang pemimpin Indonesia, Sukarno Hatta adalah dwi tunggal yang sangat berpengaruh dalam wajah perpolitikan Indonesia di masa silam. Peran keduanya yang membidani lahirnya Republik Indonesia membuat nama mereka abadi hingga kini. Karakter Sukarno yang nasionalis bersanding dengan Hatta yang berorientasi pada perekonomian rakyat menjadikan keduanya pasangan pemimpin bangsa yang kuat. Meski kedua pemimpin itu kini telah tiada, tetapi kepergian mereka meninggalkan nama yang harum untuk dikenang sebagai proklamator. Lebih dari pada itu, pada nama keduanya tersemat kriteria seorang pemimpin bangsa yang berkarakter antara lain, Simpatik-empatik- Unggul- Keberanian- Amanah- Reformis- Nasionalis- Objektif- Humanis -Anti-neoliberalisme- Terbuka- Tegas- Anti-korupsi. Kriteria tersebut kirannya cocok untuk pemimpin masa depan Indonesia, terlebih di tengah kondisi Indonesia yang diliputi berbagai permasalahan.
Merujuk pada GNP per kapita dan IPM, terlihat bahwa kemiskinan masih menjadi noda bagi perkembangan perokonomian di Indonesia. Apalagi ditambah dengan persoalan mahalnya pendidikan, korupsi, pelanggaran HAM, hingga ketidakadilan hukum yang kian memberatkan langkah Indonesia untuk maju. Sementara, rakyat kecil yang selalu menjadi korban dari kondisi tersebut. Oleh karena itu, presiden yang simpatik-empatik sangat dibutuhkan di masa yang akan datang. Dengan sikap simpatik-empatik presiden diharapkan bukan hanya merasa prihatin saja, tetapi dapat merasakan kesengsaraan yang dialami rakyatnya. Dengan demikian, seorang presiden seharusnya mau dan mampu membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat. Bukan sebaliknya yang menempatkan rakyat sebagai tumbal atas kebijakannya. Meski tidak mudah dicari, tetapi kondisi bangsa yang tengah dalam keadan ”sakit keras” menuntut adanya sosok yang demikian. Presiden juga harus unggul dan mempunyai keberanian. Bukan hanya perolehan suaranya saja yang unggul, tetapi lebih pada keunggulan sikap dan tindakan dalam mengabdikan dirinya untuk rakyat. Sementara itu, keberanian yang utama adalah keberanian untuk jujur dalam menjalankan amanah rakyat. Mencari sosok yang berani dan amanah barangkali dapat diawali dengan melihat track record yang bersangkutan tidak mempunyai cacat hukum dan kecacatan lain dalam pandangan masyarakat.
Melihat realita kebobrokan Indonesia yang telah menjalar ke berbagai sektor kehidupan, maka dibutuhkan sosok reformis. Pertama dan utama adalah reformasi birokrasi, karena dari birokrasi inilah sarang semua kebobrokan di Indonesia. Oleh karena itu, reformasi birokrasi adalah sebuah keharusan demi menghentikan kebobrokan dan memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah rusak. Hal yang tidak kalah penting untuk memperbaiki Indonesia adalah sense of nationalism. Sukarno barangkali patut dijadikan contoh dalam hal nasionalisme. Bagi presiden pertama Republik Indonesia itu, kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Di masa depan sosok yang nasionalis inilah yang diharapkan mampu membawa Indonesia lepas landas dari statusnya sebagai bangsa berkembang menuju bangsa yang lebih maju. Dikatakan demikian, pasalnya nasionalisme merupakan benteng terkuat untuk membentuk sebuah bangsa. Negarawan Roeslan Abdulgani mengatakan bahwa nasionalisme negara-negara Asia (termasuk Indonesia) muncul sebagai akibat kondisi bangsa yang terjajah, sementara nasionalisme bangsa barat dilatarbelakangi keinginan menguasai bangsa lain (menjajah). Praktik nasionalisme di Indonesia yang diawali sejak awal abad XX mulai mencapai puncaknya pada tahun 1945 seiring tercapainya proklamasi. Namun, setelah Indonesia melangkah lebih dari enam dasawarsa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, masih perlukah nasionalisme sebagai bangsa terjajah. Kita membutuhkan sosok presiden masa depan yang mengatakan ”ya”. Terjajah oleh kebodohan, terjajah oleh kedaulatan ekonomi bangsa asing, dan terjajah oleh korupsi. Apabila bangsa barat dengan nasionalismenya bisa berdaulat atas negeri lain, maka dengan nasionalisme yang muncul akibat kondisi bangsa yang terjajah seharusnya bangsa Indonesia paling tidak bisa berdaulat atas negerinya sendiri. Sebagaimana seruan Bung Karno untuk selalu berdikari, maka dengan semangat nasionalisme selayaknya kita mengeyahkan kebodohan, dan mewujudkan kedaulatan negara di bumi, air dan udara dalam segala sektor kehidupan, serta menghentikan dominasi asing atas Indonesia dalam segala bentuk.
Namun, PR (pekerjaan rumah) yang harus dikerjakan pemimpin kita kelak tidak hanya penghentian dominasi asing dan pengenyahan kebodohan. Pelanggaran HAM dan ketidakadilan hukum masih menjadi hal yang belum diselesaikan hingga kini. Khasus yang menyeruak belakangan seperti pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok, Mesuji, Bima kian menambah panjang deretan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Padahal masih banyak persoalan pelanggaran HAM di masa lalu yang belum diselesaikan. Apalagi ditambah dengan ketidakadilan hukum yang selalu menumbalkan rakyat kecil. Menghadapi persoalan tersebut, dibutuhkan presiden yang mau dan mampu bersikap objektif dengan menjujung tinggi dan meletakkan asas kebenaran serta tidak oportunistik.
Mengingat Indonesia merupakan negara yang ber-bhineka tunggal ika, maka dibutuhkan sosok yang humanis. Siapa pun presiden 2014 kelak, hendaknya ia mampu menjembatani berbagai perbedaan suku, agama, ras, dan mampu merangkul bangsa Indonesia dalam suatu persatuan dan kesatuan dengan cara-cara yang humanis. Sikap lain yang juga harus menjadi pedoman presiden kita kelak adalah anti-neoliberalisme. Globalisasi telah menjadi kendaraan bagi liberalisme gaya baru atau neoliberalisme yang kemudian melindas berbagai tatanan kehidupan berbangsa, mulai dari tatanan kehidupan ekonomi, sosial, bahkan budaya. Oleh karena itu, agar tatanan-tatanan kehidupan tersebut tidak semakin terlindas dan hancur, dibutuhkan sosok yang mampu mengatakan ”tidak pada neoliberalisme”, tetapi tetap berpikiran progresif.
Sementara itu, reformasi 1998 telah mengawali munculnya praktik demokrasi. Sebagai langkah dari pendewasaan praktik demokrasi, sepantasnya presiden Indonesia kelak adalah sosok yang terbuka. Keterbukaan tersebut hendaknya diwujudkan dengan menjalankan pemerintahan yang transparan-demokratis untuk mewujudkan clean and good governance. Presiden yang tegas dengan leadership yang mumpuni pun dibutuhkan Indonesia. Terlepas dari latar belakang presiden kelak, baik dari sipil maupun militer, Indonesia butuh sosok yang mampu mengomando, bukan sekedar menghimbau. Namun, komando yang dikeluarkan sepantasnya untuk membela kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya. Sebagaimana dianalogikan jika Indonesia adalah bus, presiden adalah sopirnya, dan rakyat adalah penumpangnya, selayaknya presiden sebagai pemimpin negara mengantarkan rakyat pada keselamatan, persatuan, dan kemakmuran. Namun, jika presiden yang bertindak sebagai pemimpin negara tidak mampu mengendalikan kemudi roda pemerintahan dengan baik, maka akan menyebabkan kefatalan yang berimbas pada kesengsaraan rakyat. Sementara itu, di tengah persoalan korupsi yang tengah merajalela, anti-korupsi menjadi kriteria yang tidak bisa ditawar dan harus direalisasikan, bukan hanya janji belaka.
Merujuk pada kriteria tersebut, lantas siapakah yang akan menjadi ”Sukarno-Hatta jilid II”? Semoga pertanyaan tersebut akan terjawab dengan kandidat presiden yang mampu mengantarkan Indonesia pada kondisi yang lebih baik. Akhirnya, mari para calon pemimpin masa depan, kita bangkit untuk Indonesia!! Merdeka.....!
SUMBER PUSTAKA
Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES. 2004.
http://indomaritimeinstitute.org/?p=1400, 16 September 2011, ( Diakses 13 Oktober 2011, Pukul 9.36 WIB).

0 comments:

Post a Comment