Memberi Pinjaman
Saya pernah mendengar seorang mubalig mengatakan bahwa pinjaman itu pahalanya lebih banyak ketimbang memberi sedekah atau hadiah.
Lipat sepuluh kali. Alasannya memberi pinjaman adalah memberi kepada orang yang pasti dan lebih memerlukan ; sedang memberi sedekah atau hadiah, belum tentu orang yang diberi orang yang memerlukan sama sekali.
Terlepas dari pahalanya, alasan itu sendiri tentu masih bisa dipersoalkan. Setidak tidaknya menyangkut pengertian “memerlukan” yang mengandung kadar nisbi nyaris tak terbatasi itu. Kecuali jika pembicaran dibatasi pada kerangka “kehidupan komsumtif” yang sederhana saja.
Sebab dalam kehidupan yang “cangih” seperti sekarang ini, tentu kurang relevan mengaitkan pemberian, terutama pemberian pinjaman, dengan sekedar faktor “keperluan” pihak yang diberi. Pemberian pinjaman masa kini justru lebih mempertimbangkan persyaratan-persyaratan bagi mereka yang benar-benar memerlukan, masalah sulit dipenuhi.
Ya, orang sekarang tidak peduli “memerlukan” atau tidak yang memperoleh pinjaman, yang penting haruslah bonafide. Bagi pihak pemberi pinjaman, “keperluan” si peminjam boleh jadi nomor dua atau tiga. Yang pokok si peminjam itu bonafide atau tidak ? Punya goodwill dan likuiditas atau tidak ? ada kelakar kalo mau cari utangan, anda mesti kaya dulu. Sebab mana ada orang melarat bonafide?
Orang sekarang tentu tidak kaget atau bertanya-tanya mendengar ada permintaan pinjaman dari orang yang kaya raya. Jika ada orang yang terkenal kaya mencari utangan, pastilah yang mendengar senang hati atau bangga, memberinya. Meminjami orang kaya, rasanya tidak hanya ringan, tapi ada semacam “kenikmatan” tersendiri. Dan berbeda dengan orang yang melarat , orang kaya jika meminjam, pengembalianya pasti terjamin dan biasanya lebih pula.
Namun anehnya, ada “permintaan pinjaman” dengan janji pengembalian berlipat ganda plus bonus, kok tidak banyak yang menyambutnya. Padahal yang meminta pinjaman, bonafiditas dan goodwill serta kekayaan dan kemurahannya tidak ada seorangpun yang meragukanya. Kok tidak banyak yang serta-merta menangkapnya sebagai satu kesempatan baik untuk investasi misalnya.
Ratusan tahun yang lalu, “permintaan pinjaman” dengan janji yang menggiurkan itu telah ditawarkan. Dan seorang petani dipinggir kota Madinah, yang tentu saja belum mengenal istilah investasi, deposito dan sebagainya, dengan spontan menyambutnya penuh gairah.
Abu ad-Dahdah, demikian nama petani itu, begitu mendengar tawaran, langsung memnyatakan kepada utusan yang menyampaikan tawaran itu, “Aku serahkan kebun kurmaku sebagai pinjaman”. Dan kepada istri serta anak-anaknya yang tingal menunggui kebunnya, Abu ad-Dahdad mengatakan, “Kemasi barang-barang! Pindah dari sini! Kebun ini telah kulepaskan, hari ini sebagai pinjaman”.
Eloknya, sang istri sambil mengemasi barang-barangnya, berkata mantap kepada suaminya, “saya yakin transaksimu ini pasti mengguntungkan”. Dan hari itu juga, keluarga petani itu meningalkan kebun yang konon berisi 600 pohon kurma berbuah itu.
Abu ad-Dahdah boleh menjadi mengharapkan keuntungan besar dikemudian hari, tapi jelas dia tidak berspekulasi. Bagaimana mungkin petani berspekulasi denagn menyerahkan tanah kebunnya yang luas itu ? Tidak, dia tidak berspekulasi. Dia dan juga istrinya yang mendukung tindakannya itu, amat yakin karena sangat mengenal siapa yang dipinjamnya.
Kita pun bila mengenalnya, seperti Abu ad-Dahdah dan istrinya mengenalnya, tentu tidak ragu-ragu memberikanpinjaman kepadanya. Soalnya betapa pun banafiditas, likuiditas, dan goodwill pihak yang meminjam, jika tidak atau belum begitu mengenalnya, rasanya masih berat juga memberikan pinjaman kepadanya. Apabila diharapkan memberikanya dengan ringan dan rasa “nikmat”.
Jadi persoalannya adalah sejauhmana pengenalan kita. “Tawaran” itu sendiri tetap terbuka setiap saat:” Man dza alladzi yuqridlu allaha qardalan hasanan fayudalla’ifahu lahu wal lahu ajrun kariem. (Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Dia akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan mendapatkan pahala yang agung).” (Q.s. 57:11).
Sumber : http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=404
Saya pernah mendengar seorang mubalig mengatakan bahwa pinjaman itu pahalanya lebih banyak ketimbang memberi sedekah atau hadiah.
Lipat sepuluh kali. Alasannya memberi pinjaman adalah memberi kepada orang yang pasti dan lebih memerlukan ; sedang memberi sedekah atau hadiah, belum tentu orang yang diberi orang yang memerlukan sama sekali.
Terlepas dari pahalanya, alasan itu sendiri tentu masih bisa dipersoalkan. Setidak tidaknya menyangkut pengertian “memerlukan” yang mengandung kadar nisbi nyaris tak terbatasi itu. Kecuali jika pembicaran dibatasi pada kerangka “kehidupan komsumtif” yang sederhana saja.
Sebab dalam kehidupan yang “cangih” seperti sekarang ini, tentu kurang relevan mengaitkan pemberian, terutama pemberian pinjaman, dengan sekedar faktor “keperluan” pihak yang diberi. Pemberian pinjaman masa kini justru lebih mempertimbangkan persyaratan-persyaratan bagi mereka yang benar-benar memerlukan, masalah sulit dipenuhi.
Ya, orang sekarang tidak peduli “memerlukan” atau tidak yang memperoleh pinjaman, yang penting haruslah bonafide. Bagi pihak pemberi pinjaman, “keperluan” si peminjam boleh jadi nomor dua atau tiga. Yang pokok si peminjam itu bonafide atau tidak ? Punya goodwill dan likuiditas atau tidak ? ada kelakar kalo mau cari utangan, anda mesti kaya dulu. Sebab mana ada orang melarat bonafide?
Orang sekarang tentu tidak kaget atau bertanya-tanya mendengar ada permintaan pinjaman dari orang yang kaya raya. Jika ada orang yang terkenal kaya mencari utangan, pastilah yang mendengar senang hati atau bangga, memberinya. Meminjami orang kaya, rasanya tidak hanya ringan, tapi ada semacam “kenikmatan” tersendiri. Dan berbeda dengan orang yang melarat , orang kaya jika meminjam, pengembalianya pasti terjamin dan biasanya lebih pula.
Namun anehnya, ada “permintaan pinjaman” dengan janji pengembalian berlipat ganda plus bonus, kok tidak banyak yang menyambutnya. Padahal yang meminta pinjaman, bonafiditas dan goodwill serta kekayaan dan kemurahannya tidak ada seorangpun yang meragukanya. Kok tidak banyak yang serta-merta menangkapnya sebagai satu kesempatan baik untuk investasi misalnya.
Ratusan tahun yang lalu, “permintaan pinjaman” dengan janji yang menggiurkan itu telah ditawarkan. Dan seorang petani dipinggir kota Madinah, yang tentu saja belum mengenal istilah investasi, deposito dan sebagainya, dengan spontan menyambutnya penuh gairah.
Abu ad-Dahdah, demikian nama petani itu, begitu mendengar tawaran, langsung memnyatakan kepada utusan yang menyampaikan tawaran itu, “Aku serahkan kebun kurmaku sebagai pinjaman”. Dan kepada istri serta anak-anaknya yang tingal menunggui kebunnya, Abu ad-Dahdad mengatakan, “Kemasi barang-barang! Pindah dari sini! Kebun ini telah kulepaskan, hari ini sebagai pinjaman”.
Eloknya, sang istri sambil mengemasi barang-barangnya, berkata mantap kepada suaminya, “saya yakin transaksimu ini pasti mengguntungkan”. Dan hari itu juga, keluarga petani itu meningalkan kebun yang konon berisi 600 pohon kurma berbuah itu.
Abu ad-Dahdah boleh menjadi mengharapkan keuntungan besar dikemudian hari, tapi jelas dia tidak berspekulasi. Bagaimana mungkin petani berspekulasi denagn menyerahkan tanah kebunnya yang luas itu ? Tidak, dia tidak berspekulasi. Dia dan juga istrinya yang mendukung tindakannya itu, amat yakin karena sangat mengenal siapa yang dipinjamnya.
Kita pun bila mengenalnya, seperti Abu ad-Dahdah dan istrinya mengenalnya, tentu tidak ragu-ragu memberikanpinjaman kepadanya. Soalnya betapa pun banafiditas, likuiditas, dan goodwill pihak yang meminjam, jika tidak atau belum begitu mengenalnya, rasanya masih berat juga memberikan pinjaman kepadanya. Apabila diharapkan memberikanya dengan ringan dan rasa “nikmat”.
Jadi persoalannya adalah sejauhmana pengenalan kita. “Tawaran” itu sendiri tetap terbuka setiap saat:” Man dza alladzi yuqridlu allaha qardalan hasanan fayudalla’ifahu lahu wal lahu ajrun kariem. (Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Dia akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan mendapatkan pahala yang agung).” (Q.s. 57:11).
Sumber : http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=404
0 comments:
Post a Comment