MENGAPA BUDAYA MENULIS GURU MASIH RENDAH
MENGAPA budaya menulis guru masih rendah ? Setidaknya ada tujuh hal yang mengangkangi pikiran guru sehingga tetap saja malas menulis. Pertama, pemberi motivasi tentang menulis jumlahnya sangat sedikit. Hal ini mengakibatkan wawasan guru tentang menulis sangat minim. Menulis dianggap hal yang sangat sulit dan membutuhkan biaya tinggi. Menulis dikategorikan sebagai pekerjaan orang berbakat menulis. Menulis divonis tidak menghasilkan materi yang dapat segera dimakan anak dan istri. Pendeknya menulis dipatok sebagai pekerjaan seorang penulis dan bukan pekerjaan guru aktif yang setiap hari harus mengajar di depan kelas.
Kedua, asumsi tentang kebutuhan menulis yang salah. Guru yang bergolongan di bawah IVa tidak tergerak hatinya untuk menulis. Dengan entengnya, mereka mengatakan bahwa menulis itu kebutuhan untuk naik pangkat ke golongan IVb ke atas. Padahal konsep menulis bagi guru dapat dianalogikan dengan persiapan seorang prajurit sebelum menuju perang menghadapi musuh . Pendidikan dan pelatihan perang adalah tahap yang mesti dilakukan. Katakanlah guru berperang di medan laga IVa untuk melompat tembok penghalang menuju daerah IVb. Tembok penghalang tersebut bemama karya tulis. Sebelum sampai di medan laga IVa idealnya aktif melakukan latihan membuat karya tulis sebagaimana prajurit latihan perang. Akan tetapi latihan menulis inilah tidak digemari sebagian besar guru di bawah IVa.
Ketiga, tuntutan administrasi mengajar memang tidak enteng. Guru kelas (guru SD) yang setiap minggunya mengajar lebih dari 30 jam memang membutuhkan kesiapan mental dan tenaga yang prima. Apalagi ada aturan, beban mengajar guru minimum 24 jam tatap muka per minggu sebagai syarat sertifikasi menambah alasan makin tidak ada waktu untuk memikirkan karya tulis.
Keempat, budaya membaca guru memang rendah. Tidak banyak, guru yang tertarik membaca opini pada surat kabar harian. Akibat budaya baca yang rendah ini kejelian memandang suatu permasalahan pendidikan juga dangkal sekali. Ujungnya, guru lamban bahkan tidak mampu mengkaithubungkan secara cepat pokok pikiran yang dibaca dengan permasalahan pendidikan yang akan ditulis. Pada gilirannya , budaya membaca yang rendah itu menyeret para guru ke lembah wawasan yang dangkal dan sempit.
Cara membangun agar banyak ide gagasan sebagai bahan tulisan hendaknya para guru mau mengubah diri menghidupkan budaya baca buku, membaca artikel orang lain yang tersebar pada koran harian , mengurnpulkan guntingan koran yang berisi warta dan opini tentang pendidikan sebagai sumber data yang akurat.
Kelima, wadah tulisan guru yang jumlahnya sedikit dan publikasinya pun kurang optimal. Majalah, bulletin, jurnal dan koran harian merupakan wadah tulisan guru yang signifikan. Jumlah guru yang demikian banyak ini sebagian besar tidak tahu harus ke mana saja mengirimkan tulisan hasil karyanya. Bagaimana cara mengirimkan , kriteria tulisan dan misi majalah, bulletin atau pun jurnal yang akan dikirimi umumnya para guru kurang memahami.
Pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan mestinya merasakan kondisi demikian . Di era yang sepatutnya tumbuh dan berkembang majalah, bulletin, dan jurnal pendidikan yang dapat memuat tulisan guru-guru justru sebaliknya tumbang dan lenyap satu per satu dengan alasan biaya produksi dan operasioal makin mahal. Instansi yang berkaitan dengan guru seharusnya menumbuhkembangkan kehidupan wadah tulisan para guru. LPMP misalnya, sesuai dengan perannya, sangat ideal apabila mempunyai majalah, buletin dan jurnal. pendidikan. Dinas pendidikan propinsi adalah instansi yang mesti peduli dengan buletin dan jumal pendidikan sebagai wadah tulisan para guru di lingkungannya. Dinas pendidikan kabupaten paling tidak mempunyai satu macam majalah, buletin atau jurnal pendidikan. Sekolah hendaknya mendorong para guru untuk menulis pada wadah yang ada di sekolah tersebut. Majalah atau buletin sekolah mestinya diusahakan keberadaannya di setiap sekolah. Wadah-wadah seperti jurnal pendidikan idealnya terbit paling tidak 4 kali setahun. Sedangkan majalah idealnya terbit minimum 8 kali setahun. Nah, jika wadah-wadah tulisan tersebut diupayakan keberadaan dan eksistensinya secara serius , guru sangat terangsang untuk menulis sebagaimana yang diamanatkan dalam persyaratan guru naik pangkat ke golongan W b.
Keenam, belum terciptanya budaya lomba menulis. Banyak macam bentuk lomba yang berkembang di lingkungan kita. Misalnya, lomba menyanyi, gerak dan lagu, mewarnai gambar, lari 100 meter. hingga sampai lomba yang paling sepele ialah lomba makan kerupuk yang digantung. Lomba menulis tidak dijumpai dalam berbagai even. Padahal banyak sekali even yang sangat berkaitan. Misalnya, memperingati Hari Pendidikan Nasional. memperingati bulan membaca, memperingati hari Guru, memperingati hari Kemerdekaan Negara memperingati hari KORPRI, awal, tengah dan akhir tahun pelajaran dan lain-lain. Oleh karena, itu alangkah baiknya apabila guru dipacu menulis dengan cara memperbanyak lomba menulis disertai dengan hadiah yang memotivasi guru untuk menulis.
Ketujuh, tidak adanya aturan wajib menyertakan angka kredit dari pengembangan profesi dalam setiap naik pangkat pada golongan mana pun bagi guru. Guru tidak merasa tertantang untuk menulis ketika golongannya belum IV a. Andaikan ada aturan guru harus menyertakan angka kredit dari pengembangan profesi minimum 4 untuk naik ke golongan III b, 6 untuk naik ke golongan III c., 8 untuk naik ke golongan III d, 10 untuk naik ke golongan IVa dan 12 untuk naik ke golongan IV b maka guru akan tergugah semangatnya untuk menulis karya ilmiah sebagai tugas wajib yang harus diupayakan keberadaannya. Sayang sekali, aturan naik pangkat hingga ke golongan IV a tidak mewajibkan adanya angka kredit yang berasal dari pengembangan profesi. Akibatnya menulis bagi guru tidak dianggap sesuatu yang wajib, penting dan bermanfaat. Ya, memang aneh tapi nyata.
0 comments:
Post a Comment