9. Menempel hasil setiap try out di papan pengumunan sekolah. Hal ini akan membuat bangga siswa yang nilainya baik, sebaliknya membuat malu siswa yang nilainya jelek. Namun, kepada siswa yang nilainya jelek, tetap harus kita nasehati supaya terus bersemangat untuk dapat meningkatkan nilainya dari try out ke try out, tanamkan pada mereka bahwa hasil try out belum mencerminkan kelulusan 100% tapi setidaknya kalau kita latihan yang sungguh-sungguh maka hasilnya di kala UN nanti pasti baik.
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Sunday, November 27, 2011
Seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti yang sudah-sudah hampir semua sekolah menjelang ujian nasional pasti mempunyai program-program yang dirancang dengan tujuan supaya siswa-siswi kita bisa lulus 100 % dengan nilai yang baik tentunya. Baiklah, program yang akan saya tampilkan berikut ini adalah program sukses ujian nasional yang berisi langkah-langkah yang diambil SMP N 2 Kaliwungu Kab Kendal berkenaan dengan ujian nasional tahun 2011 - 2012. Program atau langkah-langkah ini tentunya disusun oleh Team pengembang sekolah yaitu Kepala Sekolah beserta guru dan karyawan kemudian program yang telah dirancang akan disosialisasikan kepada siswa dan orang tua siswa untuk disepakati bersama. Beberapa program tesebut yaitu :
1. Mesosialisasikan POS UN, SKL dan kriteria-kriteria kelulusan ujian nasional kepada para siswa dan orangtua siswa supaya mereka paham dan sebagai dasar untuk strategi merancang program sukses UN bersama.
2. Mengadakan try out atau latihan ujian nasional sebanyak mungkin. SMP N 2 Kaliwungu Kab Kendal biasanya mengadakan hingga 3-6 kali. Harapannya dengan semakin sering siswa berlatih soal-soal ujian nasional dengan simulasi sama persis pada saat ujian nasional sesungguhnya nanti maka dalam ujian nasional nanti tidak akan mengalami hambatan yang berarti. Selain dari try out ke try out dan hasilnya dianalisa, kita akan dapat mengetahui perkembangan dan kesiapan siswa dalam menghadapi ujian nasional. Soal-soal try out bisa dibuat sendiri, lewat MGMP ataupun dari buku-buku soal persiapan ujian nasional yang penting sesuaikan dengan materi, SKL dan tingkat kesulitan soal. Yang penting juga, hasil setiap try out harus disampaikan kepada orang tua sehingga orangtua juga mengetahui dengan persis perkembangan anaknya, apakah nilainya setiap try out naik, tetap atau malah bahkan turun. Sehingga selama persiapan UN, kami sering mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa kelas IX.
3. Mengadakan les-les atau tambahan pelajaran untuk mata pelajaran yang di-UN-kan. Bisa dilaksanakan pada waktu sore hari atau bahkan sebulan sebelum UN, kami mengadakan Guru Pamong dan Klinik maple yang di UN khusus bagi siswa yang nilainya masih memprihatinkan/pas-pasan.
4. Pemadatan jam pelajaran hanya untuk mapel UN. Biasanya kami adakan sebulan sebelum UN. Jadi selama sebulan hanya mapel UN yang kami ajarkan kepada siswa kelas IX dengan tujuan lebih menggembleng merekan khusus mapel Bhs Indo, Matematika, Inggris dan IPA dengan sedikit teori dan lebih banyak latihan soal atau trik-trik menyelesaikan soal secara mudah.
5. Membentuk kelompok belajar yang terdiri dari siswa yang satu daerah dengan komposisi yang kita atur sehingga mereka bisa belajar dengan baik. Kita taruh beberapa siswa yang pandai dalam satu kelompok. Kemudian supaya kelompok belajar ini berjalan dengan baik maka kita suruh untuk menyusun jadwal belajar, kita beri soal sebagai tagihannya dan kita/guru secara berkala mengadakan home visit atau kunjungan ke rumah-rumah mereka untuk memantau kegiatan elajar secara langsung.
6. Membuat stasiun-stasiun atau empat-tempat atau sudut-sudut di sekolah yang biasa menjadi tempat berkerumun siswa kemudian kita tempeli dengan kata penyemangat / kata – kata Mutiara serta rumus-rumus atau trik-trik penyelesaian soal secara singkat. Harapannya semoga siswa dapat senantiasa belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
7. Guru mapel UN mengadakan try out sendiri, semacam ulangan harian. Tujuannya tentu saja untuk melatih siswa terbiasa mengerjakan soal-soal UN. Waktu pelaksanaan Try out ini biasanya sesuai dengan jadwal mengajar guru yang bersangkutan.
8. Menganalisis hasil setiap try out. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui tipe-tipe/butir soal yang sukar, sedang maupun sulit. Nah, setelah kita mengetahui hal tsb, maka kita dapat terus mencoba/melatihkan soal-soal bertipe sulit/sedang kepada siswa, tapi awas kita juga tetap melatihkan soal-soal yang mudah sehingga jangan sampai kita terlalu fokus kepada membahas soal-soal sulit dan sedang sehingga soal-soal yang mudah terlupakan. Lebih baik, kita fokuskan pada soal-soal yang tingkat kesukarannya sedang sembari terus berlatih soal-soal mudah sehingga siswa betul-betul menguasai.
9. Menempel hasil setiap try out di papan pengumunan sekolah. Hal ini akan membuat bangga siswa yang nilainya baik, sebaliknya membuat malu siswa yang nilainya jelek. Namun, kepada siswa yang nilainya jelek, tetap harus kita nasehati supaya terus bersemangat untuk dapat meningkatkan nilainya dari try out ke try out, tanamkan pada mereka bahwa hasil try out belum mencerminkan kelulusan 100% tapi setidaknya kalau kita latihan yang sungguh-sungguh maka hasilnya di kala UN nanti pasti baik.
9. Menempel hasil setiap try out di papan pengumunan sekolah. Hal ini akan membuat bangga siswa yang nilainya baik, sebaliknya membuat malu siswa yang nilainya jelek. Namun, kepada siswa yang nilainya jelek, tetap harus kita nasehati supaya terus bersemangat untuk dapat meningkatkan nilainya dari try out ke try out, tanamkan pada mereka bahwa hasil try out belum mencerminkan kelulusan 100% tapi setidaknya kalau kita latihan yang sungguh-sungguh maka hasilnya di kala UN nanti pasti baik.
10. Memberikan soal-soal UN tahun lalu atau soal-soal try out khusus kepada siswa-siswa yang nilainya masih rendah supaya dikerjakan di rumah. Penugasan ini diharapkan akan membuat siswa tsb mau tidak mau berlatih lebih serius di sekolah dan juga di rumah, tapi ingat ! hasil pekerjaan siswa sebaiknya dikoreksi dan memberikan umpan balik terutama pada soal-soal yang masih dijawab salah oleh anak. Kita perlu memberitahu kesalahannya sehingga siswa tsb bisa memperbaiki di kemudian hari.
11. Mengadakan istighotsah atau doa bersama seminggu sekali untuk semua siswa khususnya siswa kelas IX, lebih baik lagi dengan mengundang orangtua siswa. Hal ini penting, kan...supaya sukses selain berusaha dan belajar serta berlatih ya harus diiringi dengan do'a, insya ALLAH kita dimudahkan dalam menempuh ujian nasional. .
Saturday, November 26, 2011
SETELAH SERTIFIKASI LALU APA
Saat ini isu yang masih hangat dibicarakan antar Guru di seluruh Indonesia adalah mengenai Sertifikasi
- Apa saja yang harus dipersiapkan?
- Bagaimana menghitung skornya?
- Siapa yang menilai?
- Siapa yang mengeluarkan sertifikat?
- Bagaimana untuk yang tidak lulus sertifikasi?
- Apakah harus ikut DPG (Diklat Pelatihan Guru)?
- Berapa lama DPG dilangsungkan?
- Dimana DPG diadakan?
- Kapan sertifikat dikeluarkan?
- Kapan tunjangan yang lulus sertifikasi diterima?
Mungkin Anda masih bisa menambahkan atau punya pertanyaan lainnya seputar sertifikasi.
- Apa saja yang harus dipersiapkan?
- Bagaimana menghitung skornya?
- Siapa yang menilai?
- Siapa yang mengeluarkan sertifikat?
- Bagaimana untuk yang tidak lulus sertifikasi?
- Apakah harus ikut DPG (Diklat Pelatihan Guru)?
- Berapa lama DPG dilangsungkan?
- Dimana DPG diadakan?
- Kapan sertifikat dikeluarkan?
- Kapan tunjangan yang lulus sertifikasi diterima?
Mungkin Anda masih bisa menambahkan atau punya pertanyaan lainnya seputar sertifikasi.
Menurut petinggi di Ditjen PMPTK, proses sertifikasi guru di Indonesia yang direncanakan berlangsung 10 tahun akan bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun, mengingat komposisi guru yang berijazah S1. Oleh sebab itu Anda tak perlu khawatir akan terlalu lama menunggu untuk sertifikasi, santai Saja … jika persyaratan terpenuhi anda pasti lulus, kalupun tidak … ikut pelatihan, dan lulus juga akhirnya, karena pada dasarnya ini bagian udaha pemerintah menaikkan tingkat kesejahteraan pendidik di negeri ini agar lebih jadi warga terhormat dan terdorong untuk mampu bekerja lebih profesional.
Apakah Anda termasuk kelompok yang sudah lulus sertifikasi? Selamat … !
Setelah sertifikasi, lalu apa? Menurut Drs. Karnadi, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ mengungkapkan beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk terus meningkatkan kualitas guru, diantaranya:
1. Pendidikan Profesi.
Masih banyak guru di Indonesia yang mengajar materi pelajaran tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, atau guru yang masih lemah dalam penguasaan materi yang diajarkan. Oleh sebeb itu perlu terus diupayakan peningkatan penguasaan guru terhadap materi yang diajarkan, disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi di dunia.Pelatihan, workshop atau up grading harus dilakukan oleh Dinas Pendidikan, PKG, Sanggar, MGMP dan lembaga lainnya.
2. Pendidikan Ketenagaan.
Guru harus didorong untuk berinteraksi dengan teman se profesi atau fihak-fihak lain agar saling bertukar pengalaman praktis yang dilakukan sehingga terjadi sosialisasi metode atau cara serta pengalaman dan mendapatkan umpan baik untuk lebih menyempurnakan pengalaman yang sudah dilakukan.Kegiatan ini dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan, PKG, Sanggar, MGMP dan lembaga lainnya.
3. Peningkatan Kesejahteraan.
Kesejahteraan guru tak hanya berupa gaji, insentif dan lainnya yang bersifat materi. Tatapi mencakup pemberian penghargaan profesi guru, misalnya jaminan kesehatan, jaminan hari tua, atau pemberian penghargaan dan fasilitas kepada guru. Mungkin Anda ingat Garuda pernah memberikan discount untuk pembeli tiket penerbangan kepada anggota PGRI, kedepan Pemerintah akan mendorong mitra atau perusahaan swasta untuk memberiakan apresiasi atau penghargaan terhadap guru; misalnya discount belanja buku atau alat-alat IT dan lainnya.
Nah … setelah Anda lulus sertifikasi … LALU? … Selamat berjuang saudaraku.
SELAMAT HARI GURU
November 26, 2011
No comments
Assalamu’alaikum wr.wb
Ku angkat ibu jari untuk saudara – saudaraku yang bersabar dan berjuang di dunia pendidikan. Semoga Allah mengganti dan member balasan yang kekal di jannatun na’im.
Tak ada gembira bagi yang tak pernah sedih, tak ada lezat bagi yang tak punya sabar, tak ada nikmat bagi yang tidak mengalami kesulitan, dan tak ada istirahat bagi yang tak merasakan lelah.Setiap hamba Allah yang mau berlelah sedikit, ia akan merasakan kelegaan yang panjang .
“ SELAMAT HARI GURU, SEMOGA SEHAT SELALU, JAYALAH PENDIDIKAN INDONESIA “
Friday, November 18, 2011
Wednesday, November 16, 2011
10 CARA CERDAS MENDIDIK ANAK
10 CARA CERDAS MENDIDIK ANAK
by INSPIRASI MENDIDIK ANAK on Wednesday, November 9, 2011 at 6:24am
Sebagai orang tua yang selalu sibuk dengan rutinitas kerja yang padat. Membuat waktu kita sangat terbatas untuk anak kita. Padahal inginnya kita bisa terus menerus dekat dengan si buah hati. tapi kira-kira bisa ngga ya waktu kita yang terbatas itu menjadi berkualitas ? dan … mungkin ngga ya kita bisa menjadi orantua yang efektif ?
Menurut psikolog selama kita bisa memanfaatkan waktu , orang tua yang sibuk pasti tetap bisa membesarkan anaknya dengan baik. Karena belum tentu juga anak yang orangtuanya mempunyai seratus persen waktu di rumah, bisa memiliki kualitas fisik, jiwa dan psikologis yang lebih baik dibandingkan anak yang orangtuanya banyak waktunya habis di tempat kerja. Karena tumbuh kembang anak tidak bergantung pada lama waktu alias kuantitas orang tua bersama anaknya. Tetapi lebih kepada kualitasnya.
Ibu yang setiap hari di rumah, tapi tidak terlalu care pada tumbuh kembang anaknya, misalnya ibu asyik menonton televisi sendiri, sementara anaknya dibiarkan bermain sendiri tanpa bimbingan darinya. Tidak akan sebanding dengan ibu yang bekerja namun memanfaatkan waktunya yang terbatas secara maksimal untuk mengikuti dan membimbing tumbuh kembang anaknya.
Siapapun pasti ingin bisa menjadi orang tua yang baik. Dan untuk menjadi orang tua memang butuh belajar. Namun sayangnya, sekolah untuk menjadi orang tua belum ada. Bagaimana sebaiknya memanfaatkan waktu menjadi orang tua dengan efektif ? berikut tipsnya.1. Dekati anak, pahami karakternya
Orangtua yang baik berusaha memahami karakter anaknya. Ada anak yang sejak awal menunjukan karakter pemalu, periang. Introvert, extrovert atau penuh percaya diri. Sebaiknya perlakukan mereka sesuai dengan karakternya, dan jangan memaksakan anak untuk menjalani karakter lain. Atau memaksanya melakukan sesuatu yang dia belum merasa siap. Misalnya memaksa anak yang pemalu untuk maju ke panggung, sementara dia belum siap. Orang tua dan guru hanya bisa menyiapkan mentalnya, namun yang bertarung mempersiapkan mental itu adalah anak itu sendiri. Daripada ‘berkelahi’ dengan anak di belakang panggung. Lebih baik beri dia waktu untuk mengelola perasaan. Di kesempatan lain, dia mungkin jadi lebih berani. Jika dipaksa, anak bisa terbebani dan stress.
Waktu serta tenaga yang anda berikan pun terbuang percuma. Untuk memahami anak, anda tentu harus dekat dengan mereka. Dan menjadikan diri anda sebagai orang dekat hingga jadi tempat curhat juga perlu trik. Jika anak sedang bermasalah, berikan rasa empati dan perhatian. Tunjukan bahwa anda peduli dan ingin dia kembali ceria. Jika karakter anak anda tertutup jangan paksa dia untuk segera to the point menceritakan masalahnya.
Anak malah semakin bungkam. Dekati sedikit demi sedikit, ajak dia ngobrol dari hati ke hati, dari situ anda bisa masuk ke pokok masalnya. Meski sibuk, jadilah pendengar yang aktif. Jangan pura-pura mendengarkan padahal tidak dan masih bekerja. Alihkan konsentrasi ke dia atau minta untuk menunda pembicaraan sesaat lagi.
2. POSITIVE PARENTING
by INSPIRASI MENDIDIK ANAK on Wednesday, November 9, 2011 at 6:24am
Sebagai orang tua yang selalu sibuk dengan rutinitas kerja yang padat. Membuat waktu kita sangat terbatas untuk anak kita. Padahal inginnya kita bisa terus menerus dekat dengan si buah hati. tapi kira-kira bisa ngga ya waktu kita yang terbatas itu menjadi berkualitas ? dan … mungkin ngga ya kita bisa menjadi orantua yang efektif ?
Menurut psikolog selama kita bisa memanfaatkan waktu , orang tua yang sibuk pasti tetap bisa membesarkan anaknya dengan baik. Karena belum tentu juga anak yang orangtuanya mempunyai seratus persen waktu di rumah, bisa memiliki kualitas fisik, jiwa dan psikologis yang lebih baik dibandingkan anak yang orangtuanya banyak waktunya habis di tempat kerja. Karena tumbuh kembang anak tidak bergantung pada lama waktu alias kuantitas orang tua bersama anaknya. Tetapi lebih kepada kualitasnya.
Ibu yang setiap hari di rumah, tapi tidak terlalu care pada tumbuh kembang anaknya, misalnya ibu asyik menonton televisi sendiri, sementara anaknya dibiarkan bermain sendiri tanpa bimbingan darinya. Tidak akan sebanding dengan ibu yang bekerja namun memanfaatkan waktunya yang terbatas secara maksimal untuk mengikuti dan membimbing tumbuh kembang anaknya.
Siapapun pasti ingin bisa menjadi orang tua yang baik. Dan untuk menjadi orang tua memang butuh belajar. Namun sayangnya, sekolah untuk menjadi orang tua belum ada. Bagaimana sebaiknya memanfaatkan waktu menjadi orang tua dengan efektif ? berikut tipsnya.1. Dekati anak, pahami karakternya
Orangtua yang baik berusaha memahami karakter anaknya. Ada anak yang sejak awal menunjukan karakter pemalu, periang. Introvert, extrovert atau penuh percaya diri. Sebaiknya perlakukan mereka sesuai dengan karakternya, dan jangan memaksakan anak untuk menjalani karakter lain. Atau memaksanya melakukan sesuatu yang dia belum merasa siap. Misalnya memaksa anak yang pemalu untuk maju ke panggung, sementara dia belum siap. Orang tua dan guru hanya bisa menyiapkan mentalnya, namun yang bertarung mempersiapkan mental itu adalah anak itu sendiri. Daripada ‘berkelahi’ dengan anak di belakang panggung. Lebih baik beri dia waktu untuk mengelola perasaan. Di kesempatan lain, dia mungkin jadi lebih berani. Jika dipaksa, anak bisa terbebani dan stress.
Waktu serta tenaga yang anda berikan pun terbuang percuma. Untuk memahami anak, anda tentu harus dekat dengan mereka. Dan menjadikan diri anda sebagai orang dekat hingga jadi tempat curhat juga perlu trik. Jika anak sedang bermasalah, berikan rasa empati dan perhatian. Tunjukan bahwa anda peduli dan ingin dia kembali ceria. Jika karakter anak anda tertutup jangan paksa dia untuk segera to the point menceritakan masalahnya.
Anak malah semakin bungkam. Dekati sedikit demi sedikit, ajak dia ngobrol dari hati ke hati, dari situ anda bisa masuk ke pokok masalnya. Meski sibuk, jadilah pendengar yang aktif. Jangan pura-pura mendengarkan padahal tidak dan masih bekerja. Alihkan konsentrasi ke dia atau minta untuk menunda pembicaraan sesaat lagi.
2. POSITIVE PARENTING
Terapkan positive parenting yaitu menghargai setiap perilaku baik anak sebanyak-banyaknya dan usahakan untk menghukumnya sesedikit mungkin. Jika anak melakukan kesalahan, jangan langsung dimarahi. Tapi gali alasan dia melakukannya, serta ajak dia berpikir apakah itu baik atau tidak. Bersikaplah tenang, karena pada dasarnya setiap perilaku anak adalah proses menemukan jatidiri atau identitas dirinya. Dengan cara ini, anak mengerti dan anda bebas stress. Anak usia satu sampai dua tahun adalah usia yang segala perilakunya msaih bersifat eksplorasi. Maka berikanlah kesempatan itu, karena ini sangat bermanfaat untuk perkembangan otaknya.
3. LIBATKAN DAN AJAK DISKUSI
Ingin anak yang pemberani dan punya sifat memimpin ? libatkan dalam diskusi keluarga, dengarkan dan hargai pendapatnya. Lakukan itu sejak dia kecil, agar ingatan itu tertancap di memorinya. Diskusikan banyak hal dengannya mulai dari memilih makanan, baju, berwisata ke mana, sampai sekolahnya sendiri. Hal ini penting untuk membentuk rasa percaya dirinya. Dengan kebiasaan ini, anak juga akan terbiasa dengan penyelesaian masalah secara demokratis. Mulailah melibatkan mereka ke dalam tugas-tugas rumah tangga sehari-hari, tentunya dengan menyesuaikan dengan usianya mereka. Anak biasanya akan merasa senang, jika ia merasa dibutuhkan oleh orang lain dan berguna bagi orang lain.
4. MANFAATKAN SETIAP KESEMPATAN
Jika anda adalah orangtua bekerja, maka pintar-pintarlah mempergunakan kesempatan terbatas untuk berkomunikasi dengan anak anda seefektif mungkin. Sambil bercanda, usahakan mendapatkan pembicaaan yang ‘berisi’. Misalnya, ajaklah anak mengobrol dengan santai tentang berbagai hal ketika anda mengantar dia ke sekolah. Gunakan juga kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai positif ketika anda menemani dia menonton televise. Mengajak diskusi selalu bisa diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang unik danmungkin bikin dia geli. Misal.” Nak, kenapa ya manusia itu kadang-kadang sakit? Apa kuman itu juga bisa sakit ya ?”
5. SEDIAKAN WAKTU KHUSUS
Meluangkan waktu khusus untuk berdua dengan anak merupakan hal yang penting untuk menumbuhkan ikatan batin antara anda dan anak. Manfaatkan kesempatan berdua untuk memahami dan mendekatkan diri dengan anak. Anda bisa memanfaatkan waktu tersebut mulai dari saat membangunkan atau mengantarkannya tidur, bermain bersama, menonton televisi bersama, pergi bersama ke tempat-tempat menarik, dan banyak lagi. Usahakan setiap hari ada waktu khusus untuk setiap anak. Akan lebih baik jika waktu libur dimanfaatkan untuk bersama keluarga.
6. TEGAKKAN DISIPLIN
Jika anak sedari kecil dibiasakan untuk disiplin, maka dia akan menjadi pribadi yang teratur setelah dewasa. Terapkan mulai dari hal-hal yang kecil. gosok gigi, cuci kaki, merapikan tempat tidur setelah bangun pagi, sangat baik untuk membiasakan hidup mereka lebih teratur setelah dewasa. Terapkan disiplin secara konsisten. Jika anak melalaikannya, tidak ada salahnya anda memberikan sanski. Tak perlu sambil marah-marah, malah bagus jika anda dan anak melakukannya sambil tertawa. Berikan sanksi yang bersifat mendidik, misalnya menyuruhnya untuk mengerjakan tugas rumah dan perlu diingat. Jangan berikan sanksi di beberapa kelalaian pertamanya. Berikan jika anak berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama.
7. BERILAH CONTOH YANG BAIK
Anak adalah peniru ulung, maka berhati-hatilah dalam bertingkah laku dan menjalankan kebiasaan.
Anak usia emas (0-5 Tahun) memiliki daya ingat yang sangat kuat, jadi apapun yang anda lakukan bisa menjadi modalnya dalam berprilaku di saat dewasa. Dia belajar berprilaku melalui pengamatannya pada perilaku orang tuanya.
Maka berperilakulah yang baik dan hindarkan kata-kata kotor, karena apa yang kita ucapkan dan kita lakukan merupakan modal bagi anak kita dalam berperilaku dan berucap.
8. UNGKAPKAN KASIH SAYANG
Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya, begitu pula sebaliknya. Namun tak jarang orang tua menganggap hal itu tidak penting. Padahal, mendapatkan kasih sayang adalah hak setiap anak. Termasuk dalam bentuk verbal. Seperti ‘ mama sayang kamu’. Ini berpengaruh sangat besar kepada anak.Karena merasa diperhatikan dan disayang. Sehingga anak memiliki kedekatan emosi yang dalam terhadap orangtuanya anak juga memiliki perasaan yang halus, lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama.Ungkapan kasih sayang dengan ucapan sayang. Belaian pelukan dan ciuman dalam setiap kesempatan.
9. KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Komunikasikan dengan jelas dan lembut. Ketika anda memberikan perintah kepada anak.
Berikan perintah yang spesifik dengan kalimat yang jelas untuk menghindari kebingungannya.
Stop memberikan ceramah, memarahi atau mengomeli anak dengan panjang lebar apalagi dengan teriak-teriak.
Sebaliknya seringlah mengajak mereka berdiskusi. Jangan sekali-kali berbicara dengan keras dan kasar terhadap anak. Kalau anda tak ingin mereka meniru.
10. SAAT MARAH, ANAK JANGAN DIJADIKAN PELAMPIASAN
Perilaku anak kadang membuat orangtua kesal dan jengkel. Apalagi kalau pekerjaan dan kekalutan di kantor di bawa kerumah. Jika anda mengalami hal ini, jangan sekali-kali menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalan.
Karena marah, anak menjadi objek omelan, luapan emosi atau bahakan sampai membuat kita tak menghiraukan dan memperhatikannya. Saat marah, control diri memang cenderung lebih rendah tapi jangan sekali-kali melampiaskannya kepada anak. Di depan mereka, tetaplah bersikap seperti biasa. Sempatkan waktu luang sejenak untuk berpikir dan introspeksi diri. Ambil napas panjang dan coba berpikir untuk mencari solusi terbaik bagi masalah anda.
Satu hal yang penting : orang tua yang efektif juga butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Sumber : http://www.facebook.com/notes/inspirasi-mendidik-anak/10-cara-cerdas-mendidik-anak3. LIBATKAN DAN AJAK DISKUSI
Ingin anak yang pemberani dan punya sifat memimpin ? libatkan dalam diskusi keluarga, dengarkan dan hargai pendapatnya. Lakukan itu sejak dia kecil, agar ingatan itu tertancap di memorinya. Diskusikan banyak hal dengannya mulai dari memilih makanan, baju, berwisata ke mana, sampai sekolahnya sendiri. Hal ini penting untuk membentuk rasa percaya dirinya. Dengan kebiasaan ini, anak juga akan terbiasa dengan penyelesaian masalah secara demokratis. Mulailah melibatkan mereka ke dalam tugas-tugas rumah tangga sehari-hari, tentunya dengan menyesuaikan dengan usianya mereka. Anak biasanya akan merasa senang, jika ia merasa dibutuhkan oleh orang lain dan berguna bagi orang lain.
4. MANFAATKAN SETIAP KESEMPATAN
Jika anda adalah orangtua bekerja, maka pintar-pintarlah mempergunakan kesempatan terbatas untuk berkomunikasi dengan anak anda seefektif mungkin. Sambil bercanda, usahakan mendapatkan pembicaaan yang ‘berisi’. Misalnya, ajaklah anak mengobrol dengan santai tentang berbagai hal ketika anda mengantar dia ke sekolah. Gunakan juga kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai positif ketika anda menemani dia menonton televise. Mengajak diskusi selalu bisa diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang unik danmungkin bikin dia geli. Misal.” Nak, kenapa ya manusia itu kadang-kadang sakit? Apa kuman itu juga bisa sakit ya ?”
5. SEDIAKAN WAKTU KHUSUS
Meluangkan waktu khusus untuk berdua dengan anak merupakan hal yang penting untuk menumbuhkan ikatan batin antara anda dan anak. Manfaatkan kesempatan berdua untuk memahami dan mendekatkan diri dengan anak. Anda bisa memanfaatkan waktu tersebut mulai dari saat membangunkan atau mengantarkannya tidur, bermain bersama, menonton televisi bersama, pergi bersama ke tempat-tempat menarik, dan banyak lagi. Usahakan setiap hari ada waktu khusus untuk setiap anak. Akan lebih baik jika waktu libur dimanfaatkan untuk bersama keluarga.
6. TEGAKKAN DISIPLIN
Jika anak sedari kecil dibiasakan untuk disiplin, maka dia akan menjadi pribadi yang teratur setelah dewasa. Terapkan mulai dari hal-hal yang kecil. gosok gigi, cuci kaki, merapikan tempat tidur setelah bangun pagi, sangat baik untuk membiasakan hidup mereka lebih teratur setelah dewasa. Terapkan disiplin secara konsisten. Jika anak melalaikannya, tidak ada salahnya anda memberikan sanski. Tak perlu sambil marah-marah, malah bagus jika anda dan anak melakukannya sambil tertawa. Berikan sanksi yang bersifat mendidik, misalnya menyuruhnya untuk mengerjakan tugas rumah dan perlu diingat. Jangan berikan sanksi di beberapa kelalaian pertamanya. Berikan jika anak berulang-ulang melakukan kesalahan yang sama.
7. BERILAH CONTOH YANG BAIK
Anak adalah peniru ulung, maka berhati-hatilah dalam bertingkah laku dan menjalankan kebiasaan.
Anak usia emas (0-5 Tahun) memiliki daya ingat yang sangat kuat, jadi apapun yang anda lakukan bisa menjadi modalnya dalam berprilaku di saat dewasa. Dia belajar berprilaku melalui pengamatannya pada perilaku orang tuanya.
Maka berperilakulah yang baik dan hindarkan kata-kata kotor, karena apa yang kita ucapkan dan kita lakukan merupakan modal bagi anak kita dalam berperilaku dan berucap.
8. UNGKAPKAN KASIH SAYANG
Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya, begitu pula sebaliknya. Namun tak jarang orang tua menganggap hal itu tidak penting. Padahal, mendapatkan kasih sayang adalah hak setiap anak. Termasuk dalam bentuk verbal. Seperti ‘ mama sayang kamu’. Ini berpengaruh sangat besar kepada anak.Karena merasa diperhatikan dan disayang. Sehingga anak memiliki kedekatan emosi yang dalam terhadap orangtuanya anak juga memiliki perasaan yang halus, lembut dan penuh kasih sayang terhadap sesama.Ungkapan kasih sayang dengan ucapan sayang. Belaian pelukan dan ciuman dalam setiap kesempatan.
9. KOMUNIKASI YANG EFEKTIF
Komunikasikan dengan jelas dan lembut. Ketika anda memberikan perintah kepada anak.
Berikan perintah yang spesifik dengan kalimat yang jelas untuk menghindari kebingungannya.
Stop memberikan ceramah, memarahi atau mengomeli anak dengan panjang lebar apalagi dengan teriak-teriak.
Sebaliknya seringlah mengajak mereka berdiskusi. Jangan sekali-kali berbicara dengan keras dan kasar terhadap anak. Kalau anda tak ingin mereka meniru.
10. SAAT MARAH, ANAK JANGAN DIJADIKAN PELAMPIASAN
Perilaku anak kadang membuat orangtua kesal dan jengkel. Apalagi kalau pekerjaan dan kekalutan di kantor di bawa kerumah. Jika anda mengalami hal ini, jangan sekali-kali menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalan.
Karena marah, anak menjadi objek omelan, luapan emosi atau bahakan sampai membuat kita tak menghiraukan dan memperhatikannya. Saat marah, control diri memang cenderung lebih rendah tapi jangan sekali-kali melampiaskannya kepada anak. Di depan mereka, tetaplah bersikap seperti biasa. Sempatkan waktu luang sejenak untuk berpikir dan introspeksi diri. Ambil napas panjang dan coba berpikir untuk mencari solusi terbaik bagi masalah anda.
Satu hal yang penting : orang tua yang efektif juga butuh waktu untuk dirinya sendiri.
DIMANAKAH RUH DUNIA PENDIDIKAN
Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin ----
Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan zaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan.
Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (spiritual keagamaan, azas manfaat, akhlaq mulia, dan lainnya) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dimana di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran.
Pengetahuan ('ilmu / knowledge)
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Pengajaran (ta'lim / instruction)
Pengasuhan yang baik (tarbiyah / education)
Pola hubungan atau relasi antara guru dan siswa dapatlah diilustrasikan semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi (akhlaq mulia) seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika siswa telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan..
Zaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan zaman.
Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, matrealis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis. Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang “sesuai” dengan tuntutan perkembangan zaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan.
Saat ini, tidak ada beda antara guru dan CD multimedia pembelajaran. Bahkan lebih manjur dan mengasyikkann CD pembelajaran dalam menyampaikan pelajaran dibandingkan dengan seorang guru. Sekolah-sekolah disibukkan untuk ber-ICT, bermultimedia, berinternet, dan bertaraf internasional (SBI). Sedangkan para guru direpotkan dengan sertifikasi guru, menyusun KTSP, silabus, RPP, program semester dan bahwakan demontrasi. Disisi lain dituntut mampu menghasilkan lulusan berdasarkan angka-angka yang memuaskan. Inilah mungkin yang melalaikan kita semua sebagai seorang guru yang tidak sekedar hanya mengajar (mentransfer) tetapi sekaligus mendidik.
Nilai-nilai (values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (spiritual keagamaan, azas manfaat, akhlaq mulia, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai “robot-robot” berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi “mekanistik” bagai mesin. Ironisnya adalah melahirkan agresivitas, kekerasan, serta pelecehan antara guru dan siswa.
Kondisi pendidikan yang demikian saat ini, mendorong kita untuk membangkitkan kembali jiwa atau ruh pendidikan pada hakikatnya yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan (knowledge oriented) dan ketrampilan (skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai (values oriented). Sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 20. Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kondisi pendidikan yang demikian saat ini, mendorong kita untuk membangkitkan kembali jiwa atau ruh pendidikan pada hakikatnya yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan (knowledge oriented) dan ketrampilan (skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai (values oriented). Sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 20. Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (spiritual keagamaan, azas manfaat, akhlaq mulia, dan lainnya) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dimana di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran.
Pengetahuan ('ilmu / knowledge)
Proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar-mengajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Tuhan yang telah mengaruniakan akal dan ilmu, yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi adalah hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Sang Pencipta, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan risalah Tuhan di dunia dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Pengajaran (ta'lim / instruction)
Dalam hal ini guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik/akhlaq mulia. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada siswanya.Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan dilarangnya suatu ilmu untuk dipelajari. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya. Tidak hanya sebatas mentransfer materi pelajaran tanpa berkebiasaan merefleksikannya dalam kehidupan siswa.
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding siswanya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru.
Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain”.
Pengasuhan yang baik (tarbiyah / education)
Unsur yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik atau siswa. Anak didik adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan.
Demikian pula guru memiliki peran sentral dalam transfer ilmu, kegagalan dan keberhasilan anak didik ada pada ketajaman analisa dan kepandaian seorang guru. Semakin kreatif seorang guru maka semakin bermutu pula anak didik yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya.
Jadi pola hubungan atau relasi antara guru dan siswa tidak dapat terpisahkan, saling berkaitan, dan adanya timbal balik dalam rantai kehidupan. Ini menunjukkan bahwa titik tolak pemikiran pendidikan bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak mulia). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati dan memiliki kecakapan hidup untuk kehidupan.
Pola hubungan atau relasi antara guru dan siswa dapatlah diilustrasikan semacam “laboratorium” pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi (akhlaq mulia) seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika siswa telah memiliki “pengalaman” relasi hidup sebagaimana dalam “laborat akhlak” maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada “dominasi”, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan..
Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), tidak lagi dijumpai relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati.
Dengan demikian ruh/jiwa pendidikan wujudnya adalah bernuansa sufistik (moral/akhlaq mulia) ridha, tawaddhu’, wara’, ikhlas, dan sabar sebagai kata kunci dalam proses pembelajaran. Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah “mikro” sosial, sebagai “laboratorium”, yang bernama pendidikan.
Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa etik dan estetik. Dari pendidikan yang bernilai etik dan estetik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas, toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana (global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.
Saturday, November 12, 2011
Friday, November 11, 2011
Hijaukan dan Cintailah Bumi Kita
November 11, 2011
No comments
Hijaukan dan Cintailah Bumi Kita!
“Global Warming” telah menjadi masalah yang menyita perhatian manusia sejagat. Dalam definisi sederhana, “global warming” adalah kondisi naiknya suhu permukaan Bumi yang disebabkan peningkatan jumlah karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lain, atau yang disebut Gas Rumah Kaca (GRK) yang menyelimuti Bumi dan memerangkap panas pantulan sinar matahari , sehingga suhu pe...rmukaan menjadi naik dan akan mencairkan es di kutub, akibatnya tinggi permukaan laut akan naik, sehingga pulau-pulau kecil dan tidak mustahil pulau-pulau besar akan hilang, juga kota-kota yang berada di pinggir pantai.
Setiap tahun selalu diadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) tentang perubahan iklim (UN Climate Change . Telah banyak hal yang didiskusikan para pemimpin dunia dalam konferensi ini sebagai upaya memperbaiki keadaan Bumi yang telah mengalami banyak kerusakan akibat ulah manusia yang tamak dan tidak bertanggung jawab.
Selamatkan Bumi dengan Tanganmu!
Tak ada yang sepele dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Sekecil apapun kontribusi kita, manfaatnya pasti dirasakan kita semua. Banyak sekali yang dapat kita lakukan sehari-hari untuk meringankan beban bumi dan meningkatkan kualitas hidup sesama. Sebarkan informasinya di lingkungan warga sekitar rumah, kantor, tempat ibadah, tempat berdagang, dan sekolah lewat papan pengumuman, milis, maupun obrolan.Tentunya, jangan lupa untuk terus mencari, mengembangkan, dan menerapkan berbagai informasi mengenai penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia.
Sedikit aksi, kurangi banyak sampah!
1. Kurangi Sampah (Reduce) -- Bawa tas kain sendiri saat berbelanja untuk menghindari penggunaan
tas plastik dan tas kertas. Hindari membeli dan membuat produk dengan kemasan berlebihan, dan yang menggunakan styrofoam. Gunakan air seperlunya, mematikan alat pendingin pada ruangan yang kosong, matikan alat elektronik jika tidak digunakan
2. Gunakan Kembali (Reuse) – Gunakan kembali botol dan wadah kemasan produk untuk penyimpanan daripada membeli baru. Jangan membuang barang yang masih layak digunakan, berikanlah kepada yang membutuhkannya.
3. Daur ulang (Recycle) – Pilah sampah rumah tangga Anda. Sampah basah dapat dijadikan kompos tanaman. Tempatkan sampah kertas, plastik, dan botol gelas yang telah dipilah di tempat terpisah dan persilahkan pemulung mengambilnya untuk di daur ulang.
4. Menolak menggunakan barang yang tidak ramah lingkungan (Refuse).
5. Mengubah Paradigma (Rethink), ubah paradigma lama yang cendrung eksploitasi yang merusak alam menjadi paradigma yang ramah lingkungan.
6. Menanam pekarangan dan penghijauan lingkungan (Otarki) tanami pekarangan rumah dengan dengan tanaman konsumtif, termasuk di dalamnya tanaman obat-obatan. Untuk pekarangan rumah yang luasnya 1 x 2 meter, pekarangan tersebut dapat ditanami 1 pohon terong yang merambat, 1 pohon kunyit, 1 pohon jahe, 3 pohon cabai, 1 pohon tomat, dan 1 pohon lengkuas yang masing-masing ditanam dalam pot ukurang sedang. Sebagai penyejuk bisa ditanam pohon belimbing, rambutan , mangga, jambu air, jambu batu, atau pohon lain yang buahnya berukuran kecil atau sedang.
7. Buatlah lubang resapan Biopori dengan diameter 10-30 cm , dalamnya 80-100 cm menggunakan bor tanah khusus, kemudian isi dengan sampat organik kedalamnya.
8. Pastikan agar 5 prinsip 1 O, di atas diterapkan di rumah, sekolah, kantor, tempat ibadah dan tempat berdagang. untuk mengurangi jumlah sampah yang sampai ke tempat pembuangan akhir, menghijaukan lingkungan, mengurangi emisi CO2, melestarikan air bawah tanah, mengurangi penyakit demam berdarah dan manfaat lainnya. .
9. Dorong pemerintah membuat kebijakan dan fasilitas pengelolaan ampah berdasarkan 3 prinsip di atas dan melibatkan masyarakat dan komunitas pemulung. Mengelola Sampah Sama dengan Mengelola Gaya Hidup.
Sedikit aksi, selamatkan banyak air!
1. Biasakan hemat air saat mencuci pakaian, peralatan makan, menyiram tanaman, mencuci kendaraan bermotor. Jangan biarkan air mengalir terus saat menggosok gigi, mencuci rambut dan menyabuni tubuh. Matikan keran dan buka kembali saat Anda membutuhkannya.
2. Kurangi penggunaan bahan kimia yang semakin mencemari perairan, seperti deterjen, pembersih lantai, pestisida, dll. Jangan membuang sampah dan limbah ke sungai, laut, danau, pantai, dll.
3. Pastikan agar sekolah, kantor, tempat ibadah dan tempat berdagang menerapkan penghematan air dan memasang kakus yang membedakan volume air siram untuk buang air kecil dan air besar. Pastikan bangunan rumah, kantor, dan sekolah memiliki sumur resapan yang memungkinkan air hujan masuk ke dalam tanah.
4. Dukung kampanye penyelamatan sumber daya air Indonesia! Pahami kondisi kritis sumber daya air di Indonesia serta pentingnya pengelolaan air untuk semua orang tanpa kecuali. Kunjungi sungai, danau, laut terdekat dan pahami pentingnya air bagi kehidupan semua mahkluk.
Turun tangan selamatkan lingkungan ternyata ringan!
Tuesday, November 1, 2011
*MEREKA YANG MELAYANI “NAFSU” ORANG DEWASA*
November 01, 2011
No comments
*Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)*
Ia tinggal di pinggir kota. Letak rumahnya lebih kurang dua puluh kilometer dari pusat kota tempat ia bersekolah. Setiap hari, ia meninggalkan rumah sebelum pukul enam pagi. Pulangnya menjelang magrib jika tidak terjebak macet. Jika kenderaan yang ditumpanginya terjebak macet, ia baru sampai di rumah hampir menjelang isya. Pada tahun terakhir ini, hari Minggu pun dipakai untuk kegiatan sekolah. Pukul 07.15 sampai pukul 13.00 mengikuti pelajaran kurikuler di sekolahnya. Sore belajar untuk program jam tambahan.Selanjutnya tiga kali seminggu mengikuti les matematika. Dua kali seminggu mengikuti les bahasa Inggris. Akhirnya hari-harinya benar-benar habis untuk kegiatan yang bernama belajar.
Hampir semua anak sekolah di daerah ini bernasib seperti ilustrasi di atas. Hari-harinya, tenaganya, dan pikirannya terkuras habis untuk mengikuti program-program yang dirancang oleh orang dewasa. Nyaris tidak ada lagi waktu untuk bermain, untuk bercengkerama dengan teman sebaya. Tidak ada lagi ruang dan waktu untuk berbagi kasih dengan orang tua dan suadara-saudara di rumah. Jika ada sedikit waktu yang tersisa di rumah masih harus mereka gunakan untuk mengerjakan pekerjaan sekolah. Beban yang mereka pikul melebihi kapasitas kemampuannya.
Secara formal, pemerintah sebenarnya telah menetapkan waktu belajar bagi anak sekolah. Seusia SMP dan SMA disediakan waktu belajar 42 jam pelajaran (satu jam pelajaran 45 menit) satu minggu. Rata-rata jam pelajaran satu hari adalah tujuh jam. Kemudian anak sekolah dapat diberi pekerjaan rumah berupa tugas-tugas. Tugas-tugas itu dapat diselesaikan setengah dari waktu belajarnya di sekolah. Misalnya jam pelajaran bahasa Indonesia di SMP enam jam pelajaran. Tugas yang boleh diberikan oleh guru bahasa Indonesia paling banyak adalah tiga jam pelajaran. Jadi di rumah, mereka belajar separoh dari jam yang disediakan sekolah. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, orang dewasa menyediakan program-program yang “luar biasa” untuk mereka.
Waktu belajar sekitar tujuh jam pelajaran di sekolah dan tiga setengah jam pelajaran di rumah, dianggap normal dan wajar untuk usia remaja. Dengan pengalokasian waktu belajar itu, masih ada sisa waktu dalam keseharian. Sisa itu dapat digunakan anak sekolah untuk bermain, mengembangkan minat di berbagai bidang. Dengan waktu yang tersisa itu mereka dapat berkesenian, berolah raga, dan hobi lainnya. Hal itu diasumsikan akan melahirkan keseimbangan dalam pertumbuhan pisik dan psikologis remaja. Keseimbangan pertumbuhan itu penting untuk menghadapi masa dewasanya.
Jika waktu yang tersedia untuk belajar di sekolah dan di rumah itu digunakan secara efektif dan efisien, diperkirakan hasilnya akan optimal. Efektifitas pemanfaatan waktu maksudnya adalah keberdayagunaan dan ketepatgunaan. Pembelajaran yang dilakukan guru selama satu jam pelajaran (45 menint) benar-benar bedayaguna dan tepat guna. Waktu yang ada itu benar-benar digunakan untuk membelajarkan anak sekolah. Tidak ada detik dan menit yang terbuang. Tidak ada waktu yang dibiarkan berlalu tanpa bermanfaat. Tidak ada keterlambatan memulai pelajaran, tidak ada pembelajaran yang usai sebelum
waktunya.
Sekolah yang satu shif (belajar pagi saja), rata-rata menggunakan waktu 45 menit untuk satu jam pelajaran. Sekolah yang dua shif kurang dari itu, ada yang 40 menit dan ada yang 35 menit. Hal itu tergantung kepada kebijakan sekolah setempat. Pada dasarnya, jika guru menggunakan kurikulum sebagai
pedoman pembelajaran, waktu yang tersedia itu cukup memadai untuk pembelajaran. Artinya, materi pelajaran, bahan ajar, dan kompetensi yang hendak dicapai akan selesai dengan waktu yang tersedia itu. Tentu saja hal penting yang diperlukan adalah perencanaan pembelajaran yang aplikatif, penyajian pelajaran yang pragmatis, dan penilaian yang valid.
Pembelajaran yang terlaksana di kelas sering tidak efektif. Efektif dalam konteks ini adalah mangkus, berdayaguna, dan berhasil guna. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan anak sekolah belajar, bukan guru mengajar. Artinya, anak sekolah melakukan aktivitas dalam bentuk berinteraksi dengan sumber belajar dan objek belajar. Interaksi itu bernaung di bawah bimbingan, arahan, motivasi, dan pengawasan guru. Aktivitas tersebut berorientasi kepada tujuan yang jelas dan tegas, berlandaskan kepada indikator yang dapat diuji. Hal itu akan melahirkan kebermaknaan bagi anak sekolah. Pembelajaran yang bermakna itulah yang pada dasarnya yang dirindukan oleh anak sekolah.
Kebermaknaan pembelajaran ditandai dengan keterlibatan mental, emosional, dan pisik pebelajar. Jika guru mengajar, anak sekolah jadi pendengar. Keterlibatannya sangat tipis. Jika ceramahnya tidak menarik, mereka hanya akan menerima dengan telinga kiri dan mengeluarkannya melalui telinga kanan. Jika menarik, mereka akan sedikit berkonsentrasi dan sambil mencatat. Kemudian catatan dihafal untuk menghadapi ujian. Akan lain halnya jika mereka melakukan. “Saya lakukan saya akan mengerti, saya akan paham”, itu antara lain ungkapan yang sering didengar.
Pembelajaran di kelas sering tidak efisien. Efisien dikaitkan dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hal itu terlihat dari ketepatan waktu mulai belajar dan ketepatan waktu mengakhiri pelajaran. Jika disiasati secara teliti, waktu yang tersedia untuk tatap muka dengan anak sekolah di kelas, akan selalu tidak pas, selalu kurang. Misalkan di dalam daftar pelajaran tertera dua jam pelajaran (2×45 menit). Pertukaran jam, keterlambatan guru sampai di kelas, keterlambatan anak sekolah mempersiapkan diri, membuat waktu yang dua jam itu telah berkurang sekian menit. Itu kalau situasi normal. Pada situasi tidak normal kondisinya akan lain, dan sangat lain.
Seyogiyanya bukan penyikasaan terhadap anak sekolah yang dilakukan.Perbaikan proses pembelajaranlah yang harus dilakukan. Bukan menambah jam pelajaran dan memforsir tenaga anak sekolah yang diperbuat, melainkan membuat pembelajaran menjadi efektiflah yang dilakukan. Bukan dana untuk jam
tambahan yang perlu disediakan, tetapi dana untuk melengkapi srana pembelajaran dan peningkatan komepotensi gurulah yang diperlukan. Akan tetapi kita telah terlanjur latah, telanjur “anacak-ancak”. Orang
Minangkabau mengatakan, “*malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio”.* Kita orang dewasa telah melakukan “ancak-ancak”, kelatahan, bahkan kegilaan. Mengapa?
Ada semacam tekanan psikologis terhadap orang dewasa yang mengurus pendidikan. Tekanan itu bisa bersasal dari masyarakat, politisi, dan birokrat yang lebih tinggi. Tekanan itu terjadi karena sikap dan cara
pandang terhadpa pendidikan. Dalam banyak pertemuan, seminar, dan dalam pidato para pejabat pendidikan sering terdengar. Mutu pendidikan diindikasikan dengan angka-angka persentase kelulusan ujian nasional. Semakin banyak anak sekolah peserta ujian nasional yang lulus, semakin tinggilah mutu pendikan di sekolah itu, di kecamatan itu, di kabupaten/kota itu. Dengan semakin tingginya angka kelulusan, dianggap kepala sekolahnya berprestasi, kepala dinasnya berprestasi dan berprestise, walikota/bupatinya semakin berkualitas. Asumsi itulah yang membuat terjadinya tekanan psikologis.
Bahwa anak sekolah harus lulus ujian nasional adalah merupakan kemutlakan. Harus. Jika tidak lulus berarti gagal, tidak berhasil. Akan tetapi tujuan pembelajaran terhadap anak sekolah bukanlah sekedar untuk lulus, melainkan lebih luas dari itu. Kalau hanya sekedar untuk lulus ujian, mengapa harus repot-repot. Ambil saja jalan yang praktis. Begitu anak sekolah diterima di suatu sekolah, langsung *didril* atau dilatih tiap hari menjawab soal-soal ujian nasional untuk dua atau tiga tahun terkahir. Kalau tiga tahun berlatih menyelesaikan soal yang sudah diujikan, dapat diberi jamainan angka lulus akan sangat tinggi. Bahkan untuk menyatakan lulus sertus persen sudah dapat dijamin. Akan tetapi, apakah memang anak sekolah belajar hanya untuk mendapat sertifikat lulus ujian nasional? Inilah masalahnya.
Tujuan pendidikan nasioanl tertuang di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dicantumkan di dalam peraturan pemerintah tentang pendidikan itu (dasar, menengah, atau tinggi). Tujuan pembelajaran untuk setiap mata pelajaran biasanya dicantumkan di dalam keputusan menteri atau pertauran menteri. Keputusan atau peraturan itu biasanya mengatur tentang kurikulum yang berlaku. Penjelasan lebih rinci
tentang tujuan pembelajaran tiap mata pelajaran dapat dilihat pada kuriklum setiap mata pelajaran. Selain itu, standar kelulusan dicantumkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jika perangkat-perangkat hukum itu dipedomani, tentu tidak akan terjadi salah persepsi dan salah resepsi tentang tujuan pendidikan dan tujuan pembelajaran.
Orang dewasa boleh saja bernafsu tinggi untuk meningkatkan angka kelulusan, persnetase kelulusan untuk ujian nasional. Akan tetapi, mereka tidak boleh mengorbankan hal-hal prinsip dalam pendidikan. Hal prinsip itu misalnya aspek pedagogis. Anak sekolah bukan alat mekanik yang dapat distel secara otomatis untuk menjawab pertnayaan-pertnayaan ujian nasional. Mereka bukanlah benda mati yang dapat diperlakukan dan dibentuk menurut kemauan “nafsu” orang dewasa. Mereka adalah anak manusia yang memiliki minat, bakat, aspirasi, dan aspek psikologis lainnya. Hal itu harus tumbuh dan berkembang. Harus tersalur secara wajar di dalam ruang dan waktu. Harus tumbuh secara alami dalam kewajaran. Akan tetapi, akibat “nafsu” orang dewasa, hal itu mulai tersendat, macet, bahkan terhenti.
Pemaksaan demi pemaksaan dirasakan oleh anak sekolah. Khususnya anak sekolah yang akan mengikuti unjian nasional. Penambahan jam pelajaran yang melebihi kemampuan anak sekolah dilakukan. Guru-guru dipaksa (sekurang-kurangnya merasa terpaksa) untuk mengajar di luar kemampuan tenaganya. Meskipun
disediakan pembayaran ala kadarnya, guru tetap saja merasa tersiksa melakasnakan tugas. Orang tua anak sekolah harus membayar tambahan untuk jam tamabahan, yang kadang-kadang pertanggungjawabannya tidak jelas. Hal ini seolah-olah berjalan normal, padahal sudah di luar kepatutan dan kepantasan. Anak sekolah tidak sempat menyampaikan keluhannya kepada guru dan orang tua.
Guru tidak berani menyampaikan deritanya kepada kepala sekolah dan kepala dinas. Orang tua tidak sempat lagi mengeluh kepada walikota atau bupati. Akhirnya, anak sekolah, guru, dan orang tua anak sekolah terpaksalah melayani “nafsu orang dewasa”.
Apakah orang-orang bernfasu ini memiliki kesadaran tentang makna pendidikan dan pembelajaran? Sepertinya tidak. Sebagian dari mereka dengan rasa bangga mempublikasikan melalui surat kabar. “Untuk meningkatkan hasil UN dilaksanakan jam tambahan”. Ada juga pejabat pendidikan yang mengeluarkan
surat perintah resmi untuk kepala sekolah agar membuat jam tambahan. Bahkan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, menganggarkan melalui APBD untuk hal itu. Tentu saja hal yang seperti itu bukanlah kesalahan, bukan kekeliruan. Akan tetapi, dengan tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan
dalam memforsir anak sekolah untuk pemuasan nafsu orang dewasa, inilah yang agaknya sesuatu yang perlu dipetimbangkan lagi pada masa yang akan datang. Sehingga kesan tentang kelatahan dan “ancak-ancak” dalam mengelola pendidikan dapat dikurangi. Tentu saja hal itu akan berpulang kepada
orang-orang dewasa yang memiliki nafsu belebihan. (Zulkarnaini Diran, pemerhati dan praktisi pendidikan, tinggal di Padang)
(praktisi dan pemerhati pendidikan)*
Hampir semua anak sekolah di daerah ini bernasib seperti ilustrasi di atas. Hari-harinya, tenaganya, dan pikirannya terkuras habis untuk mengikuti program-program yang dirancang oleh orang dewasa. Nyaris tidak ada lagi waktu untuk bermain, untuk bercengkerama dengan teman sebaya. Tidak ada lagi ruang dan waktu untuk berbagi kasih dengan orang tua dan suadara-saudara di rumah. Jika ada sedikit waktu yang tersisa di rumah masih harus mereka gunakan untuk mengerjakan pekerjaan sekolah. Beban yang mereka pikul melebihi kapasitas kemampuannya.
Secara formal, pemerintah sebenarnya telah menetapkan waktu belajar bagi anak sekolah. Seusia SMP dan SMA disediakan waktu belajar 42 jam pelajaran (satu jam pelajaran 45 menit) satu minggu. Rata-rata jam pelajaran satu hari adalah tujuh jam. Kemudian anak sekolah dapat diberi pekerjaan rumah berupa tugas-tugas. Tugas-tugas itu dapat diselesaikan setengah dari waktu belajarnya di sekolah. Misalnya jam pelajaran bahasa Indonesia di SMP enam jam pelajaran. Tugas yang boleh diberikan oleh guru bahasa Indonesia paling banyak adalah tiga jam pelajaran. Jadi di rumah, mereka belajar separoh dari jam yang disediakan sekolah. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, orang dewasa menyediakan program-program yang “luar biasa” untuk mereka.
Waktu belajar sekitar tujuh jam pelajaran di sekolah dan tiga setengah jam pelajaran di rumah, dianggap normal dan wajar untuk usia remaja. Dengan pengalokasian waktu belajar itu, masih ada sisa waktu dalam keseharian. Sisa itu dapat digunakan anak sekolah untuk bermain, mengembangkan minat di berbagai bidang. Dengan waktu yang tersisa itu mereka dapat berkesenian, berolah raga, dan hobi lainnya. Hal itu diasumsikan akan melahirkan keseimbangan dalam pertumbuhan pisik dan psikologis remaja. Keseimbangan pertumbuhan itu penting untuk menghadapi masa dewasanya.
Jika waktu yang tersedia untuk belajar di sekolah dan di rumah itu digunakan secara efektif dan efisien, diperkirakan hasilnya akan optimal. Efektifitas pemanfaatan waktu maksudnya adalah keberdayagunaan dan ketepatgunaan. Pembelajaran yang dilakukan guru selama satu jam pelajaran (45 menint) benar-benar bedayaguna dan tepat guna. Waktu yang ada itu benar-benar digunakan untuk membelajarkan anak sekolah. Tidak ada detik dan menit yang terbuang. Tidak ada waktu yang dibiarkan berlalu tanpa bermanfaat. Tidak ada keterlambatan memulai pelajaran, tidak ada pembelajaran yang usai sebelum
waktunya.
Sekolah yang satu shif (belajar pagi saja), rata-rata menggunakan waktu 45 menit untuk satu jam pelajaran. Sekolah yang dua shif kurang dari itu, ada yang 40 menit dan ada yang 35 menit. Hal itu tergantung kepada kebijakan sekolah setempat. Pada dasarnya, jika guru menggunakan kurikulum sebagai
pedoman pembelajaran, waktu yang tersedia itu cukup memadai untuk pembelajaran. Artinya, materi pelajaran, bahan ajar, dan kompetensi yang hendak dicapai akan selesai dengan waktu yang tersedia itu. Tentu saja hal penting yang diperlukan adalah perencanaan pembelajaran yang aplikatif, penyajian pelajaran yang pragmatis, dan penilaian yang valid.
Pembelajaran yang terlaksana di kelas sering tidak efektif. Efektif dalam konteks ini adalah mangkus, berdayaguna, dan berhasil guna. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan anak sekolah belajar, bukan guru mengajar. Artinya, anak sekolah melakukan aktivitas dalam bentuk berinteraksi dengan sumber belajar dan objek belajar. Interaksi itu bernaung di bawah bimbingan, arahan, motivasi, dan pengawasan guru. Aktivitas tersebut berorientasi kepada tujuan yang jelas dan tegas, berlandaskan kepada indikator yang dapat diuji. Hal itu akan melahirkan kebermaknaan bagi anak sekolah. Pembelajaran yang bermakna itulah yang pada dasarnya yang dirindukan oleh anak sekolah.
Kebermaknaan pembelajaran ditandai dengan keterlibatan mental, emosional, dan pisik pebelajar. Jika guru mengajar, anak sekolah jadi pendengar. Keterlibatannya sangat tipis. Jika ceramahnya tidak menarik, mereka hanya akan menerima dengan telinga kiri dan mengeluarkannya melalui telinga kanan. Jika menarik, mereka akan sedikit berkonsentrasi dan sambil mencatat. Kemudian catatan dihafal untuk menghadapi ujian. Akan lain halnya jika mereka melakukan. “Saya lakukan saya akan mengerti, saya akan paham”, itu antara lain ungkapan yang sering didengar.
Pembelajaran di kelas sering tidak efisien. Efisien dikaitkan dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hal itu terlihat dari ketepatan waktu mulai belajar dan ketepatan waktu mengakhiri pelajaran. Jika disiasati secara teliti, waktu yang tersedia untuk tatap muka dengan anak sekolah di kelas, akan selalu tidak pas, selalu kurang. Misalkan di dalam daftar pelajaran tertera dua jam pelajaran (2×45 menit). Pertukaran jam, keterlambatan guru sampai di kelas, keterlambatan anak sekolah mempersiapkan diri, membuat waktu yang dua jam itu telah berkurang sekian menit. Itu kalau situasi normal. Pada situasi tidak normal kondisinya akan lain, dan sangat lain.
Seyogiyanya bukan penyikasaan terhadap anak sekolah yang dilakukan.Perbaikan proses pembelajaranlah yang harus dilakukan. Bukan menambah jam pelajaran dan memforsir tenaga anak sekolah yang diperbuat, melainkan membuat pembelajaran menjadi efektiflah yang dilakukan. Bukan dana untuk jam
tambahan yang perlu disediakan, tetapi dana untuk melengkapi srana pembelajaran dan peningkatan komepotensi gurulah yang diperlukan. Akan tetapi kita telah terlanjur latah, telanjur “anacak-ancak”. Orang
Minangkabau mengatakan, “*malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio”.* Kita orang dewasa telah melakukan “ancak-ancak”, kelatahan, bahkan kegilaan. Mengapa?
Ada semacam tekanan psikologis terhadap orang dewasa yang mengurus pendidikan. Tekanan itu bisa bersasal dari masyarakat, politisi, dan birokrat yang lebih tinggi. Tekanan itu terjadi karena sikap dan cara
pandang terhadpa pendidikan. Dalam banyak pertemuan, seminar, dan dalam pidato para pejabat pendidikan sering terdengar. Mutu pendidikan diindikasikan dengan angka-angka persentase kelulusan ujian nasional. Semakin banyak anak sekolah peserta ujian nasional yang lulus, semakin tinggilah mutu pendikan di sekolah itu, di kecamatan itu, di kabupaten/kota itu. Dengan semakin tingginya angka kelulusan, dianggap kepala sekolahnya berprestasi, kepala dinasnya berprestasi dan berprestise, walikota/bupatinya semakin berkualitas. Asumsi itulah yang membuat terjadinya tekanan psikologis.
Bahwa anak sekolah harus lulus ujian nasional adalah merupakan kemutlakan. Harus. Jika tidak lulus berarti gagal, tidak berhasil. Akan tetapi tujuan pembelajaran terhadap anak sekolah bukanlah sekedar untuk lulus, melainkan lebih luas dari itu. Kalau hanya sekedar untuk lulus ujian, mengapa harus repot-repot. Ambil saja jalan yang praktis. Begitu anak sekolah diterima di suatu sekolah, langsung *didril* atau dilatih tiap hari menjawab soal-soal ujian nasional untuk dua atau tiga tahun terkahir. Kalau tiga tahun berlatih menyelesaikan soal yang sudah diujikan, dapat diberi jamainan angka lulus akan sangat tinggi. Bahkan untuk menyatakan lulus sertus persen sudah dapat dijamin. Akan tetapi, apakah memang anak sekolah belajar hanya untuk mendapat sertifikat lulus ujian nasional? Inilah masalahnya.
Tujuan pendidikan nasioanl tertuang di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dicantumkan di dalam peraturan pemerintah tentang pendidikan itu (dasar, menengah, atau tinggi). Tujuan pembelajaran untuk setiap mata pelajaran biasanya dicantumkan di dalam keputusan menteri atau pertauran menteri. Keputusan atau peraturan itu biasanya mengatur tentang kurikulum yang berlaku. Penjelasan lebih rinci
tentang tujuan pembelajaran tiap mata pelajaran dapat dilihat pada kuriklum setiap mata pelajaran. Selain itu, standar kelulusan dicantumkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jika perangkat-perangkat hukum itu dipedomani, tentu tidak akan terjadi salah persepsi dan salah resepsi tentang tujuan pendidikan dan tujuan pembelajaran.
Orang dewasa boleh saja bernafsu tinggi untuk meningkatkan angka kelulusan, persnetase kelulusan untuk ujian nasional. Akan tetapi, mereka tidak boleh mengorbankan hal-hal prinsip dalam pendidikan. Hal prinsip itu misalnya aspek pedagogis. Anak sekolah bukan alat mekanik yang dapat distel secara otomatis untuk menjawab pertnayaan-pertnayaan ujian nasional. Mereka bukanlah benda mati yang dapat diperlakukan dan dibentuk menurut kemauan “nafsu” orang dewasa. Mereka adalah anak manusia yang memiliki minat, bakat, aspirasi, dan aspek psikologis lainnya. Hal itu harus tumbuh dan berkembang. Harus tersalur secara wajar di dalam ruang dan waktu. Harus tumbuh secara alami dalam kewajaran. Akan tetapi, akibat “nafsu” orang dewasa, hal itu mulai tersendat, macet, bahkan terhenti.
Pemaksaan demi pemaksaan dirasakan oleh anak sekolah. Khususnya anak sekolah yang akan mengikuti unjian nasional. Penambahan jam pelajaran yang melebihi kemampuan anak sekolah dilakukan. Guru-guru dipaksa (sekurang-kurangnya merasa terpaksa) untuk mengajar di luar kemampuan tenaganya. Meskipun
disediakan pembayaran ala kadarnya, guru tetap saja merasa tersiksa melakasnakan tugas. Orang tua anak sekolah harus membayar tambahan untuk jam tamabahan, yang kadang-kadang pertanggungjawabannya tidak jelas. Hal ini seolah-olah berjalan normal, padahal sudah di luar kepatutan dan kepantasan. Anak sekolah tidak sempat menyampaikan keluhannya kepada guru dan orang tua.
Guru tidak berani menyampaikan deritanya kepada kepala sekolah dan kepala dinas. Orang tua tidak sempat lagi mengeluh kepada walikota atau bupati. Akhirnya, anak sekolah, guru, dan orang tua anak sekolah terpaksalah melayani “nafsu orang dewasa”.
Apakah orang-orang bernfasu ini memiliki kesadaran tentang makna pendidikan dan pembelajaran? Sepertinya tidak. Sebagian dari mereka dengan rasa bangga mempublikasikan melalui surat kabar. “Untuk meningkatkan hasil UN dilaksanakan jam tambahan”. Ada juga pejabat pendidikan yang mengeluarkan
surat perintah resmi untuk kepala sekolah agar membuat jam tambahan. Bahkan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, menganggarkan melalui APBD untuk hal itu. Tentu saja hal yang seperti itu bukanlah kesalahan, bukan kekeliruan. Akan tetapi, dengan tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan
dalam memforsir anak sekolah untuk pemuasan nafsu orang dewasa, inilah yang agaknya sesuatu yang perlu dipetimbangkan lagi pada masa yang akan datang. Sehingga kesan tentang kelatahan dan “ancak-ancak” dalam mengelola pendidikan dapat dikurangi. Tentu saja hal itu akan berpulang kepada
orang-orang dewasa yang memiliki nafsu belebihan. (Zulkarnaini Diran, pemerhati dan praktisi pendidikan, tinggal di Padang)