Satu lagi tontonan publik menjelang Pilpres 2009 yang tak kalah seru adalah debat antar tim sukses Capres-Cawapres. Setelah dikritik banyak kalangan lantaran sepi dialog dan tanya-jawab yang cerdas dan kritis dari para capres, giliran tim suksesnya yang melakukan aksi orasi sampai berbusa-busa. Mereka cenderung melakukan apologi berlebihan terhadap Capres dukungannya. Hantam sana-hantam sini, berkelit menghindar, lantas mengeluarkan jurus pamungkas yang bisa mematikan lawan merupakan siasat yang ditempuh tim sukses dalam upaya menggaet simpati publik. Entah, berapa hari dan berapa malam mereka belajar dan mengumpulkan berbagai bahan yang dianggap mampu membuat citra lawan jatuh. Strategi yang mereka tempuh tak hanya sekadar bagaimana mesti bersikap defensif dalam menerima serangan lawan, melainkan juga bagaimana melumpuhkan rival-rivalnya hingga benar-benar tak berkutik.
Yang menarik, para tim sukses itu memiliki basis akademik yang cukup lumayan. Selama ini, mereka dikenal sebagai intelektual muda yang kritis dan cerdas. Analisis politiknya sering ditunggu dan dinantikan publik. Namun, godaan kekuasaan agaknya telah meninabobokan mereka hingga benar-benar kehilangan derajat profetik yang seharusnya mereka perjuangkan. Meminjam istilah Julian Benda, mereka telah melakukan ”Pengkhianatan Intelektual” sebagaimana yang dilakukan oleh para intelektual Eropa yang ”tiarap” di depan tangan-besi-tiranik Hitler. Kaum intelektual yang seharusnya bisa menjaga jarak dengan kekuasaan telah tereduksi oleh persoalan-persoalan pragmatis dan politis sehingga kebenaran-kebenaran yang mereka agungkan telah terkontaminasi kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Ini Hal yang tidak wajar , harusnya mereka melakukan sesuatu yang wajar saja.
Salahkah apa yang mereka lakukan? Hmmm … dalam kacamata politik, konon benar-salah itu hanya beda-beda tipis. Substansinya bukan semata-mata benar-salah secara stereotipe, melainkan bagaimana mereka mampu berargumen hingga yang salah bisa tampak benar dan yang salah bisa jadi benar. Dalam kondisi demikian, para tim sukses, pasti juga sudah banyak belajar tentang psikologi massa, sehingga mereka bisa tetap tampil percaya diri di tengah-tengah publik, meski dalam keadaan terdesak sekalipun. Jangan sampai mereka “kehilangan muka” yang bisa membuat capres kehilangan simpati. Lihat saja wajah-wajah mereka yang tampak tegang dan nervous, tapi tetap berusaha tersenyum untuk memberikan kesan sebagai sosok yang tengah teraniaya. Situasi seperti ini justru bisa mendatangkan “blessing in disguise”. Semakin banyak diserang justru akan semakin diuntungkan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa batas antara salah dan benar sangat tipis .
Budaya “iba” yang selama ini telah mengakar dalam strata masyarakat kita, agaknya telah melahirkan sikap simpati kepada sosok yang dianggap terzalimi dan teraniaya. Karena telah belajar psikologi massa, siasat semacam ini bisa jadi masih akan terus ditempuh oleh tim sukses untuk membangun opini dan citra baru sebagai sosok yang terkalahkan itu. “Wani ngalah luhur wekasane” (berani mengalah akan berakhir dengan kemenangan), begitulah idiom yang sudah lama diwariskan oleh orang-orang tua Jawa pada zaman dulu.