Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia cerdas yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Tapi mengapa pada era atau pada jaman imperialisme budaya saat ini, tingkat kriminalitas anak-anak dan remaja sangat tinggi dan jumlah mereka yang masuk penjara lebih dari satu juta orang (Harry Hikmat, Direktur Anak Depsos, Waspada, 11 Maret 2009). Mengapa pula banyak anak remaja kita tidak merasa bersalah jika berbohong, rendah rasa hormat kepada ortu dan guru, pecandu narkoba dan minuman keras, sering bolos sekolah, tidak mengerjakan PR , memalak teman sekelas dan sebagainya. Dan lebih jauh lagi mengapa pendidikan yang kini tumbuh berkembang dengan pesat, justru berefek melahirkan banyaknya koruptor. Memang tidak semua koruptor, tetapi mereka-mereka para pelaku korupsi justru orang-orang yang pada umumnya sudah menyandang berbagai gelar pendidikan.
Hal tersebut terjadi dikarenakan selama anak – anak dan remaja semasa mereka belajar di bangku sekolah masing – masing terlupakan akan pendidikan budi pekerti atau yang di sebut dengan pendidikan karakter .
Secara umum pendidikan karakter memang belum menjadi proritas utama dalam pembangunan bangsa dan belum diterapkan secara holistik dalam kurikulum Pendidikan Nasional. Namun dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru-guru memiliki peluang besar untuk menerapkan pendidikan karakter ke dalam masing-masing satuan pendidikan
Dalam glosarium ( Puskur 2006 ) pengertian KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Konsep pendidikan karakter terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu : Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi anak didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Jika kita ingin agar program pendidikan karakter (kepribadian, akhlak mulia ) berjalan dengan baik dan efektif dibutuhkan guru-guru kreatif yang dapat menerapkan konsep pendidikan karakter tersebut dalam proses belajar mengajar secara holistik melalui pendekatan, metode dan strategi yang tepat.
Karena nilai-nilai akhlak mulia harus menjadi watak / karakter yang tumbuh menjadi identitas seseorang dalam bersikap dan bertindak maka dibutuhkan proses internalisasi nilai-nilai, untuk itu diperlukan pembiasaan diri agar masuk ke dalam hati sendiri sehingga bertumbuh dari dalam. Gerakan tersebut dapat dianalogikan dengan “kembali ke rumah”. Hati manusia itu bagaikan rumah (home). Maka sungguh penting kita kembali ke rumah sebagai pusat dan sumber energi segala aktivitas. Hanya dengan kondisi seperti itu pendidikan akan berhasil mematangkan dan mengokohkan karakter-karakter dasar.
Selain itu , kita harus memiliki parameter untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah program pendidikan karakter. Yang dinilai dalam pendidikan karakter, terutama adalah perilaku bukan pemahaman.
Sejujurnya upaya untuk mengembangkan sistem pendidikan karakter terhalang pada sebuah kenyataan bahwa aspek pengetahuan lebih dimungkinkan untuk diukur secara obyektif. Pengukuran terhadap sikap serta perilaku lebih sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu dibutuhkan guru yang cerdas, kreatif, memiliki integritas dan komitmen yang tinggi.
Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata, sehingga tidak memiliki idealisme menjadi seorang pendidik. Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara , yakni seorang yang memiliki rasa ” ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani ”. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Kita harus menyadari dengan benar bahwa menerapkan pendidikan karakter di sekolah bukan hal yang mudah, karena harus merubah paradigma dan cara berpikir. Kemudian butuh waktu , tenaga, biaya peningkatan kualitas guru dan pemikiran-pemikiran. Serta yang paling penting butuh keterlibatan dari semua pihak, manajemen sekolah, guru, orang tua murid, lingkungan dan masyarakat. Namun optimisme selalu ada, jika kita semua peduli Pendidikan Karakter. Barangkali sebaiknya sejak sekarang kita canangkan : “ Gerakan Peduli Pendidikan Karakter (GPPK) “.
Semoga , amanah pendidikan yang dibebankan pada pundak kita sebagai pendidik dimaknai sebagai investasi jangka panjang. Investasi akhirat ketika anak-anak kita berhasil menjadi manusia yang mempunyai nilai-nilai moral yang akan membentuk karakter berupa akhlak mulia yang di dalamnya ada campur tangan kita.
Nama : Sukasmo , S.Pd
Guru SMP Negeri 2 Kaliwungu Kab Kendal